Nightfall Chapter 1052

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 1052: Yang Luar Biasa

Penerjemah: Larbre Studio Editor: Larbre Studio

Segera setelah menerima perintah dari agama Buddha, Pengadilan Kerajaan Kanan mengirim bala bantuan mereka. Merupakan kehormatan dan kesempatan besar bagi umat Buddha yang saleh dari padang rumput untuk dapat mengunjungi tanah Buddha yang legendaris. Badai salju dan perjalanan panjang tidak pernah bisa mengintimidasi mereka. Mereka menganggap itu sebagai ujian Buddha.

Namun prajurit biksu terkemuka tampaknya cukup khawatir. Berbeda dari bangsawan yang ceria dan bersemangat dari Royal Court, mereka memahami situasinya jauh lebih baik. Kuil Xuankong selalu lebih unggul. Tetapi kali ini mereka bahkan pergi mencari bantuan dari dunia sekuler. Itu hanya bisa berarti bahwa tanah Buddha sedang mengalami kesulitan besar dan bahaya yang ekstrem.

Turun di bagian bawah Sinkhole Raksasa di Wilderness, masih gelap dan suram seperti yang telah terjadi selama bertahun-tahun yang tak terhitung jumlahnya. Tapi saat ini ada banyak api unggun di ladang menyebarkan cahaya kuning hangat ke dunia bawah. Mereka memberikan arahan bagi yang sengsara dan mengumpulkan semakin banyak sahabat.

Jun Mo berdiri di dekat padang rumput jauh dari api unggun. Dia menatap puncak yang mencapai ratusan mil jauhnya tanpa emosi. Dia tampak jauh lebih ramping daripada bertahun-tahun yang lalu, dan wajahnya yang tampan menjadi lebih gelap. Lengan kosong itu bergoyang tertiup angin, dan rambutnya yang baru tumbuh tampak gemuk.

Dia telah hidup dan bertarung di sini selama enam tahun. Dia mungkin akan bertarung sampai saat terakhirnya. Tetapi tidak ada yang tahu betapa lelahnya dia karena dia tidak pernah menunjukkan sedikit pun kelelahan atau frustrasi di wajahnya yang tenang.

Puncak Prajna masih mengesankan dan curam seperti biasa. Kuil-kuil kuning yang tersebar di hutan yang subur tidak kalah menakjubkan. Lonceng saat fajar dan senja masih mistis dan jauh. Kuil Xuankong tetap superior seolah tidak ada yang berubah.

Kemarahan telah meradang ladang di Giant Sinkhole dan menyebar ke kaki puncak. Pemberontakan yang keterlaluan terjadi di sini tetapi dikalahkan berkali-kali. Sepertinya mereka tidak akan pernah berhasil tetapi sebenarnya situasinya berubah. Dan tanah Buddha tidak lagi dalam kemuliaan penuhnya. Aula Utama tidak pernah dipulihkan sejak dihancurkan oleh Sangsang. Papan catur Buddha dilemparkan ke magma bawah tanah dan tidak akan pernah bisa terungkap lagi.

Banyak yang mati dan banyak yang sekarat. Mereka adalah orang-orang dari para bhikkhu terkemuka di Kuil Xuankong, para bangsawan di suku-suku dan pejuang setia mereka, serta para budak pemberontakan yang keterlaluan. Loncengnya adalah lonceng. Bagaimana mereka bisa menjadi mistis dan jauh?

Jun Mo menatap diam-diam ke Puncak Prajna, tebing curam dan peninggalan Buddha. Dia tampak tegas meskipun dia tidak tahu kapan dia bisa memimpin orang-orang ke Puncak Prajna dan membakar kuil-kuil kuning. Tapi dia akan terus berjuang sampai dia berhasil.

Lengan kosong itu bergoyang tertiup angin dan sesekali dipelintir. Jun Mo berusaha melepaskannya sementara panah ditembak padanya. Dia melepaskannya dengan pedang besinya dan sedikit mengernyit. Seorang mantan budak wanita datang kepadanya dan membantu melepaskan lengan baju itu.

Pemberontakan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Api liar telah menyebar melintasi ladang. Jun Mo tahu bahwa Kuil Xuankong dan tanah Buddha pada akhirnya akan meletakkan superioritas dan kepercayaan mistis mereka, dan mencari bantuan dari dunia sekuler, setidaknya dari Kerajaan Yuelun atau Pengadilan Kerajaan Kanan.

Dia akan dihadapkan dengan lebih banyak kesulitan dan mungkin tidak akan pernah bisa membawa budak keluar dari dunia bawah tanah ke rumah yang nyata. Tapi lalu bagaimana? Dia mencoba, dan masih berusaha. Seorang pria mungkin kalah dalam pertempuran, tetapi ia harus tegas dan berpikiran luas. Dia merasa lelah dan menundukkan kepalanya sehingga orang-orang di sekitarnya tidak akan melihat.

Dia adalah Saudara Kedua dari Akademi. Selama bertahun-tahun ia telah menjauh dari Dataran Tengah dan bertempur di dunia bawah tanah dalam ketidakjelasan, dan hampir dilupakan oleh dunia luar. Dia dulunya adalah orang yang paling sopan dan bermartabat. Tetapi sekarang dia mengenakan jubah dan sepatu biksu usang. Kemuliaan sebelumnya tidak ditemukan.

Namun siapa pun yang tahu apa yang dia lakukan tidak bisa mengabaikannya sama sekali. Meskipun dia kehilangan satu lengan untuk Liu Bai dan tidak pernah bisa menembus Lima Negara, dan meskipun dia menjauh dari Central Plains, dia masih bisa mengguncang seluruh dunia manusia dalam satu serangan, dan menyebarkannya ke setiap sudut di benua.

Kuil Xuankong terseret oleh kemarahan tentara pemberontak yang meradang. Bagaimana mereka bisa menaruh perhatian untuk bergabung dengan perang di dunia manusia? Bagaimana bisa Kerajaan Yuelun dan Pengadilan Kerajaan Kanan bisa mengancam Tang? Taoisme dan Buddhisme tidak akan pernah bisa berkolaborasi melawan Akademi lagi seperti yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Situasi di dunia manusia telah banyak berubah tanpa suara. Dan orang yang membuatnya hanya Jun Mo.

Dia hanya memiliki satu lengan dan satu pedang besi. Namun dia telah menghentikan sepertiga dari musuh-musuh Tang. Dalam hal itu apa yang dia lakukan memang luar biasa, baik untuk orang-orang bawah tanah yang telah diperbudak oleh agama Buddha selama bertahun-tahun maupun untuk Kekaisaran Tang.

Tidak mungkin menemukan kata untuk menggambarkan apa yang telah dicapai Jun Mo tahun ini. Jika seseorang harus memilih kata, itu pasti luar biasa.

Jun Mo bukan orang yang menyenangkan. Dia selalu diam dan serius, dan terbiasa mendisiplinkan para murid Akademi dengan kekerasan. Dia bahkan tidak bisa menyampaikan rasa sayangnya dengan benar. Karena itu ia tidak pernah dihormati sebagai Kakak Sulung, atau sesayang Chen Pipi.

Jun Mo suka beralasan dengan musuh-musuhnya tetapi alasannya tidak masuk akal dalam banyak kasus. Karena itu kapan pun musuhnya mengingatnya, mereka hanya bisa sakit kepala.

Tapi Jun Mo masih luar biasa.

Jun Mo selalu bisa melihat lautan luas dan langit biru, dan merangkul pikiran yang luar biasa. Dia tahu tidak ada batasan pada kemampuannya, karena itu setiap langkah yang diambilnya tidak terkendali. Karena keagungannya, dia tidak berpikir bahwa dia bertarung sendirian. Itu mungkin mengapa orang lain seperti Long Qing tidak pernah bisa mengalahkannya.

Dia memiliki bawahan dan pengikut. Pada awalnya hanya ada selusin dari mereka, sedangkan sekarang ada ratusan dan ribuan. Pengikutnya ada di seluruh bidang. Dia selalu menganggap mereka sebagai sahabat dan sesama pelancong.

Ribuan tentara yang ditempatkan di belakang Jun Mo adalah pengikut pertamanya dan sekarang inti dari pasukan pemberontakan. Sepanjang pertempuran tahun-tahun ini, mantan budak yang dulu hanya tahu cara menanam gandum dan kawanan domba menjadi semakin kuat. Mereka hanya akrab dengan peralatan pertanian di masa lalu. Tapi sekarang mereka terampil menggunakan senjata.

Mereka memiliki kemauan yang sangat kuat dan tetap tenang di medan perang apa pun yang terjadi. Mereka tidak akan pernah menyerah atau menyerah setelah satu kegagalan.

Mereka semua seperti Jun Mo dan berbagi semangat dan karakter yang sama. Mereka semua memiliki pikiran yang luar biasa dan sentimen yang mulia.

…

…

Dalam pertempuran musim dingin, Jun Mo dan puluhan ribu tentara pemberontak berhasil menembus garis pertahanan tentara bangsawan. Mereka datang ke kaki Prajna Peak seperti yang mereka lakukan beberapa kali sepanjang tahun. Tidak seorang pun dari pasukan pemberontak yang ceria dan bersemangat karena sejarah telah membuktikan bahwa mereka tidak bisa tinggal lama di sini. Itu sangat dekat dengan ribuan kuil di Puncak Prajna. Karena itu para bhikkhu akan menerima bala bantuan dalam waktu singkat. Ketika dihadapkan oleh tokoh-tokoh kuat dari agama Buddha, mereka tidak pernah bisa menang hanya dengan satu Juni.

Tetapi mereka tidak takut untuk pengorbanan diri. Mereka telah berjuang secara agresif untuk datang jauh-jauh ke sini meskipun mereka mungkin harus mundur pada hari berikutnya karena itu adalah perintah Jun Mo. Apakah dia mencoba untuk membuktikan kepada Kuil Xuankong berulang kali bahwa pasukan pemberontak itu pantang menyerah? Atau apakah dia hanya ingin menghidupkan kembali semangat tenggelam melalui kemenangan?

Hanya Jun Mo sendiri yang tahu jawabannya. Atau bahkan dia sendiri tidak bisa memastikan apakah dia benar atau apakah orang itu bisa bergema dari ribuan mil jauhnya.

Turun di kaki Prajna Peak, puluhan ribu prajurit bangsawan bersenjata lengkap berdiri berdampingan dengan ribuan tentara biksu di kasaya dari Kuil Xuankong. Di antara kerumunan ada arhat kuat dari Commandment Hall. Dan di atas jalan setapak itu berdiri sosok yang sangat kuat: Qi Nian yang teguh, World Wayfarer of Buddhism.

“Kamu tidak akan pernah sampai ke puncak. Apa gunanya berkorban lebih banyak dan lebih banyak? Sang Buddha berbelas kasih dan peduli terhadap kesejahteraan semua makhluk hidup, jadi mundur. ” Suara Qi Nian seperti lonceng yang bergema di dunia bawah tanah yang suram. Puluhan ribu budak pemberontak mendengar kata-katanya dan bereaksi secara berbeda.

Jun Mo menjawab tanpa emosi, “Aku pernah ke sana.” Dia memegang kemiringan pedang besi di tangan kirinya dan menatap bekas luka di wajah Qi Nian. Itu memalukan baginya.

Ketika Sangsang dan Ning Que terperangkap di papan catur Sang Buddha, ia harus berjalan sendiri ke puncak. Dia menerobos garis pertahanan mereka, akhirnya datang ke tebing dan bertemu Kepala Biksu Kitab Suci. Begitulah cara dia membuka papan catur Buddha.

Selama proses itu, dia berhadapan dengan Qi Nian sekali. Tentu saja dia menang dan Qi Nian kehilangan beberapa gigi dan terluka parah.

“Bahkan jika kamu bisa naik ke sana, lalu bagaimana?” Qi Nian berkata dengan tenang tanpa rasa dipermalukan, “Tuan kita duduk di sana di antara tebing. Apa lagi yang bisa kamu lakukan? ”

Memang, bahkan jika dia bisa menembus Puncak Prajna, apa lagi yang bisa dia lakukan? Jun Mo pernah ke sana tetapi tidak bisa menang. Itu tidak ada artinya.

“Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi aku hanya benci mendengar kamu keledai botak berbicara tentang Buddha yang berbelas kasih dan peduli tentang semua makhluk hidup. Itu menjijikkan dan keterlaluan. ” Jun Mo melanjutkan, “Ketika aku sampai di sini, aku akan meludahi wajah tuanmu dan melihat bagaimana dia akan bereaksi. Apakah dia akan membiarkannya mengering di angin atau mengambil tongkatnya untuk melawanku? Tapi masalahnya dia berjalan terlalu lambat untuk menangkap dan membunuhku. Jadi, Anda harus menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi di sana. ”

“Untuk memamerkan prestise Anda, Anda telah mengorbankan begitu banyak orang. Kupikir itu tidak sesuai dengan filosofi Akademi atau pengajaran Kepala Sekolah. ” Qi Nian melihat-lihat budak pemberontak mengenakan pakaian dan pakaian usang dan berkata dengan simpati, “Mengapa kita tidak berdamai?”

Jika Ning Que hadir, dia pasti akan mengejek dan memberikan jari tengahnya. Tapi Jun Mo tidak mengejek atau mengacungkan jari. Dia adalah pria yang sopan yang tidak tahu apa arti jari tengah. Dia hanya menatap Qi Nian dengan tenang seolah dia sedang melihat seorang idiot.

Qi Nian sedikit mengernyit dan bertanya, “Apa yang kamu inginkan?”

Jun Mo tidak memberitahu tetapi duduk di padang rumput yang dingin. Dia mengambil kerikil dan membuangnya.

Kerikil berguling beberapa saat dan berhenti.

Orang-orang bertanya-tanya apakah dia melakukan ramalan. Bisakah kerikil itu berfungsi sebagai cangkang kura-kura atau tulang sapi? Apa nubuat itu? Tapi Jun Mo tidak ilahi.

Rambutnya berubah abu-abu dalam beberapa hari sejak dia kehilangan lengannya. Kemudian dia mencukur kepalanya dan mulai membaca kitab suci Buddha. Dia menembus tingkat kultivasi dan dihormati sebagai master di seluruh ladang. Tapi dia tidak masuk agama Budha atau menjadi biksu. Dia berpegang teguh pada pengajaran Akademi dan menolak untuk berbicara tentang konyol, dewa, dunia di luar hidup dan mati, atau kekayaan yang diceritakan oleh Delapan Trigram.

Dia sedang menghitung. Perhitungannya didasarkan pada informasi yang terpecah-pecah yang diterimanya dan terus berkembang. Itu adalah proses yang sangat rumit dan membutuhkan kemampuan aritmatika yang hebat. Tetapi karena mereka semua tahu, dia luar biasa dalam hal ini.

Kerikil tersebar di antara rumput liar kering. Jun Mo menatap rumput dan kerikil diam-diam saat dia merenungkan. Ye Su sudah mati, yang berarti bahwa Dekan Biara tidak peduli tentang masa depan Taoisme atau kepercayaannya pada Haotian. Itu juga membuktikan bahwa dia tidak peduli dengan melemahnya Haotian. Tapi kenapa?

Dia berbalik dari rumput dan kerikil dan memandang ke langit kelabu. Kemudian dia menemukan kemungkinan lain. Ada seorang wanita di Surga. Dan ada satu lagi di sini di dunia manusia. Jika kepercayaan itu melemah, dia pasti akan melemah. Tetapi sebelum membuat hipotesis apa pun, mereka harus membuktikan bahwa ada dua Haotian.

Jun Mo tidak bisa membuktikannya. Dia hanya bisa menebak berdasarkan tindakan Biara Dean karena itu adalah penjelasan terbaik untuk apa yang telah dia lakukan sejauh ini.

Jadi, apakah Sangsang tidak kembali ke Kerajaan Ilahi? Apakah dia masih di sini di dunia manusia?

Jun Mo mengerutkan kening. Tidak masalah apakah itu keinginan Biara Dean sendiri atau dia melaksanakan perintah dari Surga, dia tidak akan pernah membiarkan mereka membunuh Sangsang. Atau mungkin itu karena dia tidak pernah bisa membiarkan musuhnya mencapai apa pun yang mereka inginkan. Tetapi lebih mungkin karena Haotian di dunia manusia adalah Sangsang. Jun Mo percaya bahwa Ning Que seharusnya juga merasakan ini dan dia pasti akan meninggalkan Chang’an untuk mencarinya. Dia tidak ragu tentang itu karena dia tahu Ning Que dan Sangsang yang terbaik. Dia tahu bahwa tidak ada yang lebih berarti bagi Ning Que daripada Sangsang, bahkan seluruh dunia manusia.

Tapi apa yang akan dilakukan Ning Que sebelum dia meninggalkan Chang’an? Setelah Tiga Belas Panah Primordial dikeluarkan dari Chang’an, mereka akan kehilangan kekuatan membunuh. Dia pasti akan membuat beberapa tembakan sebelum lepas landas. Di mana dia akan menargetkan? Tidak mungkin Aula Ilahi West-Hill yang dilindungi oleh Array of Clear Light. Bahkan Kakak Sulung tidak bisa menerobos, belum lagi panah besinya. Itu bisa bukan Pengadilan Suku Emas atau Yan atau Hutan Belantara Timur. Itu pasti ada di sini.

Memang, Ning Que harus menunjuk ke Kuil Xuankong saat ini.

Jun Mo yakin. Setelah Ning Que meninggalkan Chang’an, dia akan membutuhkannya kembali sesegera mungkin. Dia tidak narsis, tetapi dia jelas menyadari kemampuannya. Dengan kata lain, itu adalah pilihan terbaik mereka. Ning Que sangat khusus tentang untung dan rugi. Jika dia akan membuat satu atau bahkan beberapa tembakan, dia harus memaksimalkan hasilnya.

Setelah memikirkan itu, Jun Mo melihat ke atas ke dataran tinggi di antara tebing. Di sanalah Kepala Biksu Kitab Suci berada. Bertahun-tahun yang lalu Kepala Biksu Alkitab terluka oleh Saudara Sulung dan Jun Mo untuk beberapa putaran dan diikuti oleh Sangsang. Karena itu dia telah mendedikasikan dalam berlatih.

Tetapi selama dia duduk di tepi tebing, Puncak Prajna tidak akan pernah runtuh, atau apakah para biarawan di kuil-kuil kuning dan para pejuang mulia suku-suku itu akan kehilangan kepercayaan diri mereka.

Jun Mo tahu apa yang harus dia lakukan. Dia diam beberapa saat setelah melemparkan kerikil ke rumput. Musuh-musuhnya juga pengikut semuanya bertanya-tanya.

Jun Mo menarik keluar dari pedangnya, atau lebih tepatnya, mengangkat pedangnya ke langit yang suram. Itu adalah pedang besi yang lurus dan lurus, dan dia mengangkatnya seolah-olah itu adalah obor.

Di belakangnya, ribuan mantan budak yang paling setia dan berani menjadi gempar karena itu bukan sinyal untuk menyerang, yang membuat mereka bingung dan cemas. Tetapi tidak peduli betapa bingung atau cemasnya mereka, mereka tidak akan pernah melanggar perintahnya. Tentara pemberontak mundur dari ladang seperti gelombang jatuh.

Ribuan mantan budak menutupi retret sementara mereka menatap Jun Mo yang masih berdiri di dekat padang rumput. Mereka bingung tetapi tidak khawatir.

Jun Mo tidak pernah mengaku sebagai pembebas, pemimpin, dewa penyayang atau Buddha yang hidup. Tapi dia tidak kalah berbelas kasihan dan penyayang dari seorang penyelamat bagi para mantan budak. Dia adalah Buddha sejati yang akan mengantar mereka menuju kebahagiaan tertinggi. Sebagai seorang Buddha, dia pasti akan baik-baik saja.

Qi Nian meletakkan telapak tangannya di depan dadanya sementara rosario berayun tertiup angin. Dharmakaya yang menakjubkan dan kuat dapat dilihat dengan tidak jelas.

“Apa yang kamu inginkan?” Dia menatap Jun Mo dan merasa agak khawatir.

Puluhan ribu mantan budak mundur seperti gelombang jatuh. Massa orang yang gelap menyapu ladang, gunung, sungai, dan apa pun yang menghalangi mereka. Itu sangat besar.

Jun Mo tidak mengatakan apa-apa selain melanjutkan dengan pedang besi di tangannya. Dia berjalan menuju puluhan ribu musuh sendirian, dan tampak lebih hebat. Pedang besi menembus angin yang dingin dan hampir menarik napas orang. Jun Mo akan berjuang sampai ke puncak, lagi.

Ketika dia memegang pedang besinya di depan Verdant Canyon bertahun-tahun yang lalu, puluhan ribu kavaleri elit tidak mampu bergerak selangkah pun ke depan. Hari ini dia akan berjuang sampai ke puncak. Apakah puluhan ribu prajurit ini dapat menghentikannya?

Qi Nian ditambah semua tokoh kuat dari Aula Perintah Buddhisme mungkin bisa mengalahkannya sebagai sebuah tim. Tapi Puncak Prajna adalah bukit besar. Bagaimana mereka bisa menjaganya?

Selama dia ditentukan, dia pasti akan menembus puncak, tidak peduli biaya. Tapi apa yang tidak bisa dipahami Qi Nian adalah mengapa. Mengapa Jun Mo melakukan ini?

Dia menerobos ke puncak terakhir kali untuk menyelamatkan adik bungsunya. Kali ini juga untuk Adik Bungsunya. Dia ingin dia merasa lega ketika meninggalkan Chang’an untuk urusan penting. Dia memiliki alasan dan pembenarannya. Karena itu ia harus dan harus melakukannya.

Di dunia yang suram, pedang besi menembus udara dan terdengar bentrokan senjata pembunuh yang memekakkan telinga. Tungkai yang patah berserakan dan darah memercik.

Nyanyian Buddhis berlanjut dan lonceng bergema. Moral agama Buddha meningkat. Angka-angka kuat yang tak terhitung jumlahnya mengalir ke Jun Mo tetapi gagal menghentikan pedang besi.

Jun Mo mulai berjuang naik. Butuh waktu tiga hari tiga malam. Di tengah malam setelah tiga hari dan tiga malam, Jun Mo akhirnya tiba di dataran tinggi di atas Puncak Prajna. Itu fajar lagi, dan dia akhirnya datang ke tempat pohon pir dulu.

Di sisi lain dari tanaman merambat di jalur gunung, tubuh biksu yang mati ada di sekujur tubuh dan darah mengalir seperti anak sungai. Dia juga basah oleh darah.

Tidak ada pohon pir sekarang dan hanya banyak tanaman merambat. Hanya puing-puing kuil yang hancur yang bisa dilihat serta stupa putih yang ternoda debu. Tidak ada orang lain di depan stupa putih kecuali biksu senior yang terlihat biasa. Dia adalah buddha yang hidup di dunia manusia.

Jun Mo datang ke biarawan senior. Qi Nian terpaksa melompat ke sungai sebelumnya dengan pedang besinya dan tidak bisa datang secara instan. Karena itu tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.

Para biksu dari Kuil Xuankong sebenarnya tidak terlalu serius untuk menghentikannya karena bahkan jika dia bisa naik ke dataran tinggi, apa yang bisa dia lakukan?

Dia memang kakak kedua dari Akademi. Tetapi Biksu Kepala Kitab Suci telah memperoleh tubuh vajra yang tidak dapat dipecahkan, tingkat tertinggi agama Buddha. Siapa yang bisa mengalahkan buddha yang masih hidup?

Kepala Biksu Kitab Suci membuka matanya dan menyambutnya, “Sudah beberapa tahun. Tuan Second tampak bernoda bepergian saat Anda dulu, tetapi sedikit lebih layu. ” Kepala Biksu Alkitab tersenyum hangat dan tampak tenang.

Jun Mo menatap celah di dataran tinggi dan menjawab setelah beberapa saat, “Saya tidak akan pernah memiliki kedamaian selama saya tidak membakar tanah Buddha yang jahat. Bagaimana saya tidak berdebu dan layu? ”

Di celah itu, dulunya ada pohon pir. Dia adalah orang yang memotong tebing dengan pedang besinya dan membawa pohon pir itu ke ribuan mil jauhnya. Itu harus ditanam di bukit belakang Akademi sekarang.

Pasti tumbuh menjadi pohon besar. Jun Mo merasakan kerinduan tiba-tiba. Dia harus menyelesaikan ini dengan cepat.

Kepala Biksu Kitab Suci memandangnya dan berkata dengan tenang, “Anak panah tidak bisa membunuhku.”

Senjata pembunuh paling kuat dan efektif dari Akademi tidak lagi menjadi rahasia bagi para pembudidaya top di seluruh dunia sekarang.

Beberapa tahun yang lalu di Kuil Menara Putih di Kerajaan Yuelun, Biksu Kepala Kitab Suci telah mengambil panah besi Ning Que. Lebih tepatnya, dia tidak mengambilnya karena dia bahkan tidak menghindar.

Saat ini dengan seluruh kota Chang’an sebagai catu daya, panah besi jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Tetapi Biksu Kepala Kitab Suci tidak dapat diintimidasi, karena ia memiliki tubuh vajra yang tidak dapat dipecahkan.

Ketika menghadapi set yang sama dari Tiga Belas Primordial Arrows, Kepala Biksu tampak jauh lebih tenang daripada si Jagal. Itu karena mereka memiliki persepsi yang berbeda tentang kematian dan bahwa dia telah menghadapinya sebelumnya.

Menatap darah yang bernoda dan Jun Mo yang pucat, Kepala Biksu mengangkat alisnya tertiup angin. Dia acuh tak acuh daripada arogan karena dia tak ada bandingannya di dunia ini.

“Tidak pernah ada senjata maha perkasa di dunia, bahkan papan catur Buddha, atau bel. Bagaimana bisa panah besi yang dibuat oleh beberapa orang biasa di Akademi menonjol? ” Kepala Biksu tersenyum dan bertanya. “Aku tidak mengerti mengapa kamu memilih untuk menembakku ketika kamu memiliki kesempatan lebih besar untuk membunuh banyak orang lain dengan panah besi itu.”

“Untukmu, Dekan Biara, Pemabuk dan Jagal, panah-panah besi itu tidak fatal. Adapun orang lain, bahkan jika mereka bisa dibunuh oleh panah besi, mengapa kita harus memboroskannya pada mereka? ” Jun Mo mengatakan yang sebenarnya. Kedengarannya tidak berdaya tetapi sebenarnya menyampaikan keyakinan absolut dan kepercayaan dirinya dan Akademi.

“Tapi kamu masih tidak bisa membunuhku dengan panah,” ulang Kepala Biksu. “Anda telah membayar banyak harga untuk mencapai puncak hanya untuk menikam saya dengan pedang besi Anda sehingga Ning Que bisa menembak. Sekarang kamu tahu itu tidak akan pernah bisa membunuhku, tidakkah kamu pikir kamu membuang-buang waktu berjuang terus-menerus selama tiga hari tiga malam? Selain itu, bukankah tidak ada artinya bahwa Anda telah berjuang selama bertahun-tahun tanpa henti untuk sampai ke sini? ” Kepala Biksu menatapnya dengan simpati.

Jun Mo memegang pedang besinya lebih erat.

Api menderu di seluruh dunia bawah tanah dan tanah Buddha tampak luar biasa dan pada akhirnya mungkin membakar seluruh Kuil Xuankong. Tetapi dia adalah satu-satunya yang tahu bahwa jika mereka tidak dapat menjatuhkan bhikkhu senior ini tidak akan pernah ada akhir perang.

Mungkin memang tidak ada artinya. Tapi itu memang memiliki beberapa arti.

“Kau bertanya mengapa kami ingin menembakmu. Alasannya sangat sederhana. Itu karena Anda lambat. Anda telah duduk di sini di dataran tinggi selamanya. Sayang sekali jika kami tidak mencoba menargetkan Anda. ” Jun Mo maju selangkah ke stupa putih. Air hujan dari tadi malam menetes dan mengalir dengan kakinya melalui celah di dataran tinggi.

Darah menetes dari tubuhnya. Itu jatuh ke genangan air dan memercikkan beberapa tetes air. Dengan cahaya redup yang datang dari luar Sinkhole Raksasa, dapat dilihat dengan jelas bahwa beberapa garis darah berputar-putar di tetesan air dan menyatukan lampu menjadi berbagai bentuk.

Tiba-tiba, lampu yang dipantulkan dalam tetesan air dihilangkan. Tidak masalah dibiaskan atau dilunakkan, mereka dihancurkan menjadi percikan dan mencerahkan genangan air. Alasannya adalah bahwa pedang besi telah menghancurkan segala sesuatu di dataran tinggi bersama dengan genangan air dan tetesan air, begitu pula lampu-lampu.

Setelah suara menusuk, pedang besi terangkat dan menerobos udara. Itu datang langsung ke Kepala Biksu Kitab Suci nyaris tanpa berkedip.

Pedang besi menusuk di dada Kepala Biksu. Suara ledakan rendah terdengar seolah-olah ada benda berat yang menabrak drum batu. Atau sebuah batu yang menabrak lonceng perunggu, menciptakan bunyi lonceng yang menggema.

Lagipula, itu bukan suara senjata besi yang mengenai tubuh manusia karena Biksu Kepala Kitab Suci telah memperoleh tubuh vajra yang tidak bisa dipecahkan sejak lama. Tubuh Buddha yang hidup bukanlah duniawi!

Pedang besi Jun Mo digunakan untuk menghancurkan banyak tebing, badai dan bahkan Sungai Besar di selatan. Tapi itu tidak bisa didorong ke dalam tubuh Kepala Biksu bahkan untuk satu inci.

Melihat Kepala Biksu Kitab Suci yang menakjubkan dan memberi inspirasi, Jun Mo tampak acuh tak acuh. Dia tidak kaget tapi alisnya yang seperti pedang putus-putus.

Peluit yang jelas terdengar di tengah-tengah dataran tinggi dan menyebar. Itu menakuti burung-burung di hutan, memercikkan air terjun dan mengaduk-aduk dedaunan yang jatuh.

Jun Mo bersiul sementara dia mengisi seluruh energinya ke pedang besi … dan mengangkatnya!

Dia mengangkat alisnya dan juga pedang! Pedang besi sedikit membungkuk di dada Kepala Biksu dan diangkat!

Selama beberapa dekade, pedang besi itu memiliki karakter Jun Mo yang lebih baik dipatahkan daripada ditekuk. Tapi sekarang ini agak bengkok karena beratnya yang dibawa.

Jun Mo berusaha mengangkat Kepala Biksu dengan pedang besi. Lebih tepatnya, dia ingin memutuskan ikatan Kepala Biksu dengan Bumi, tempat semua kekuatannya berasal.

Agar tahan lama dan tidak goyah seperti bumi, itu adalah keadaan yang mengerikan dari Biksu Kepala Kitab Suci dari Kuil Xuankong. Itu juga menceritakan sumber kekuatannya.

Apa yang diinginkan Jun Mo adalah untuk memisahkannya dari Bumi. Bahkan jika dia tidak bisa mematahkan tubuh vajra-nya, dia setidaknya bisa meminimalkan keterampilan dharma ilahinya.

Biksu Kepala Kitab Suci adalah yang paling kuat dalam agama Buddha sebagai Buddha yang hidup. Tingkat kedalamannya tak terbayangkan. Karena itu ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun memutuskan ikatannya dengan bumi dan memutus catu dayanya.

Hubungan antara suatu benda dan Bumi adalah gravitasi, dan beratnya. Semakin berat objeknya, semakin erat koneksinya. Karena itu gravitasi yang lebih besar.

Hubungan antara Kepala Biksu Alkitab dan bumi tidak ada tandingannya. Karena itu ia harus menjadi orang terberat di dunia.

Kakak Sulung biasa mengatakan bahwa Kepala Biksu Alkitab dan Si Jagal berjalan paling lambat di dunia. Salah satu alasannya adalah mereka berdua sangat berat. Untuk memutus ikatannya dengan bumi, seseorang harus memikul beban seberat bumi itu sendiri. Siapa yang bisa berhasil?

Pedang besi menciptakan suara yang membuat gigi seseorang tegang. Pedang yang sedikit bengkok itu menggigil seolah akan patah pada saat berikutnya.

Jun Mo tidak kurang acuh tak acuh. Matanya di bawah alis yang gagah tampak seperti bintang yang dingin. Tidak ada sentimen tetapi hanya keteguhan hati dan ketekunan.

Peluit yang jelas terdengar lagi di dataran tinggi dan bergema di antara tebing. Para biksu Kuil Xuankong terkejut dan takut dalam perjalanan ke atas.

Dengan peluit yang jelas, Jun Mo maju selangkah lagi. Pedang besinya menempel di dada Kepala Biksu dan mendorongnya satu meter ke belakang! Tetapi Kepala Biksu masih duduk di tanah. Ikatan itu tidak terputus. Namun dia telah pindah. Setidaknya itu bukti!

Memang, tubuh Kepala Biksu hampir berakar di bumi dan tampaknya tidak bisa digerakkan. Tetapi sebenarnya dia terpaksa meninggalkan tanah beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu Biksu Kepala meletakkan telapak tangannya di papan catur Sang Buddha. Jun Mo yang mengangkat papan catur dengan pedang besinya. Saat papan catur meninggalkan tanah, tubuh Kepala Biksu diangkat dari dataran tinggi juga.

Saat itu, Li Manman datang dan membawa Kepala Biksu menjauh dari dataran tinggi untuk tur keliling Surga dan Bumi, dan menghancurkannya. Hari ini Li Manman tidak ada di sini, tetapi pedang besi itu ada.

Bersamaan dengan beberapa gemerisik, tubuh kurus dari Kepala Biksu Kitab Suci didorong ke stupa putih yang pecah dan garis besar sosok manusia diciptakan.

Terdengar peluit jelas lainnya, untuk ketiga kalinya. Seharusnya tidak lebih dari tiga kali.

Pedang besi Jun Mo tiba-tiba tegak seperti Raja Kera yang akhirnya pecah dari bebatuan setelah puluhan ribu tahun.

Pedang besi itu dibebaskan. Dari membungkuk ke lurus, pedang besi telah melepaskan semua ketegangan ke Kepala Biksu Alkitab. Dan sosok kurus itu akhirnya diangkat dari tanah! Sejak saat itu, Biksu Kepala tidak bisa lagi tidak bisa bergerak seperti Bumi. Dia masih memiliki tubuh vajra yang tidak bisa dipecahkan dan stabil seperti gunung. Tetapi bagaimana bisa satu gunung saja dibandingkan dengan bumi? Dan apakah pedang besi Jun Mo pernah menyerah ke gunung?

Pedang besi itu semakin terangkat. Kepala Biksu sekarang berada satu meter di atas tanah.

Permukaan stupa putih terus retak dan puing-puing berserakan. Kedua alis abu-abunya terayun tertiup angin dan menghancurkan dedaunan yang jatuh ke atasnya.

Dia menatap Jun Mo diam-diam, tiba-tiba menutup matanya dan mulai nyanyian. Dia akhirnya merasakan bahaya karena pedang besi di dadanya serta panah besi dari jauh.

Di langit di atas Puncak Prajna, peluit melengking terdengar. Itu jauh lebih keras dari peluit Jun Mo yang jelas sebelumnya dan jauh lebih mengerikan. Itu tanpa emosi dan kejam mungkin karena objek yang menciptakan peluit hanyalah baja. Itu tidak membawa emosi manusia dan diciptakan hanya untuk membunuh.

Pohon pir dari dataran tinggi ditanam kembali di Akademi. Tetapi masih ada banyak tanaman merambat dan pohon Bodhi di tepi tebing. Setelah peluit melengking itu, daun tipis dan lebar mulai jatuh ke tanah. Daun yang tak terhitung jumlahnya berdesir dengan dingin.

Saat itu musim dingin. Dinginnya angin tidak datang dari angin musim gugur, melainkan dari niat panah.

Kuil yang setengah hancur di bagian belakang dataran tinggi semakin runtuh. Itu berubah menjadi batu-batu yang berserakan dan balok-balok yang ditumpuk secara acak, dan meluncurkan sebuah gua di tebing di belakang.

Sebuah panah besi muncul di dada kiri Biksu Kepala Kitab Suci. Panah besi itu hitam legam. Itu benar-benar lurus dan tanpa cacat. Tidak ada yang tahu apa itu terbuat dari tetapi tampaknya melahap. Jimat rumit di seluruh poros meningkatkan itu karakter mengerikan.

Panah besi muncul tanpa alasan dan tidak terduga. Tidak ada yang tahu mengapa atau bagaimana. Satu detik yang lalu itu masih ribuan mil jauhnya. Selanjutnya muncul di Puncak Prajna, seolah-olah itu tidak ada hubungannya dengan peluit melengking.

Sepertinya panah besi belum pernah melakukan perjalanan ribuan mil melalui pegunungan dan sungai. Itu tidak seperti Distanceless yang bisa melewati interlining di Qi Langit dan Bumi. Itu terlihat seperti berada di dada kiri Biksu Kepala Kitab Suci selama bertahun-tahun dan baru terungkap karena seseorang memikirkannya barusan.

Kepala Biksu menundukkan kepalanya dan memandangi panah besi di dadanya. Itu tidak menembus kulit dan dagingnya, dan tampaknya telah berhenti. Tetapi dia tahu bahwa itu akan diluncurkan pada saat berikutnya. Kemudian panah besi mulai menekan maju tanpa ampun.

Itu menggigil selama puluhan ribu kali dalam sekejap. Ujung tajam terus menekan ke dalam tubuh kurus Biksu Kepala Kitab Suci. Jika seseorang bisa melihat lebih dekat, dia akan melihat serpihan besi jatuh dari ujung panah!

Tubuh vajra Kepala Biksu yang tidak bisa dipatahkan memang kokoh tak terbayangkan. Bahkan Tigabelas Primordial Arrows yang terbuat dari paduan rahasia sudah usang seperti ini!

Saat itu peluit melengking terdengar lagi! Sebuah panah besi kedua muncul entah dari mana di dada kanan Biksu Kepala Tulisan Suci! Itu membawa kekuatan besar dari ribuan mil jauhnya dan dibombardir di sini!

Satu panah besi berdiri untuk seluruh Kota Chang’an. Dua panah besi berdiri untuk kekuatan dua kali lipat!

Ikatan antara Kepala Biksu Alkitab dan bumi akhirnya terputus. Tidak peduli seberapa bisa dipatahkannya kamu, bagaimana kamu bisa menahan tembakanku dengan kekuatan dua kali lipat dari seluruh Kota Chang’an!

Wajahnya berubah sangat pucat saat tubuhnya bergetar di udara sambil diangkat oleh pedang besi Jun Mo. Jari-jarinya yang kurus saling menekan seperti memetik bunga di angin.

Angin di dataran tinggi sangat dingin. Ada juga angin yang dibawa oleh panah-panah dari Chang’an. Jari-jari Kepala Biksu hendak ditekan bersama, tetapi didorong oleh angin pada panah. Niat mengambil bunga sudah hilang.

Kemudian dia akan mulai mengucapkan mantra lagi. Tetapi dengan angin pada anak panah yang dituangkan ke dalam mulutnya, dia segera dibungkam. Bahkan jika dia bisa membaca beberapa ayat, bagaimana mungkin kata-kata yang berserakan itu berarti sesuatu?

Dua kali kekuatan Kota Chang’an dikenakan pada dua panah besi. Kekuatan menghancurkan jatuh tepat ke tubuh kurus dari Biksu Kepala. Dengan suara keras, tubuh Kepala Biksu tertanam ke dalam stupa putih. Dan stupa yang jatuh runtuh seketika, pecah menjadi dua bagian!

Di bawah kekuatan besar panah besi, tubuh Kepala Biksu melesat ke belakang. Itu terbang di atas kuil yang hancur dan masuk tepat ke gua. Pedang besi Jun Mo membuatnya terangkat dan mendorong ke depan bersama.

Debu bertiup seperti guntur. Dan gua mulai bergetar. Setelah beberapa saat, petir dan getaran berangsur-angsur berakhir.

Tidak ada yang tahu di mana Kepala Biksu diambil oleh dua panah besi. Di sekitar Prajna Peak, debu merajalela dan tebing-tebing terus berguncang seolah-olah akan runtuh.

Banyak biksu dari Kuil Xuankong datang ke Puncak Prajna menuju dataran tinggi. Mereka mendengar peluit melengking dan melihat debu bertiup di dataran tinggi. Meskipun mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana, mereka tidak bisa membantu tetapi merasa gelisah dan khawatir. Selain itu, mereka mendengar peluit kedua tetapi masih tidak menyadari bahwa itu adalah panah besi yang datang dari Chang’an ribuan mil jauhnya karena mereka tidak dapat melihat panah itu. Para biarawan hanya bisa samar-samar melihat terowongan tidak jelas muncul di antara debu.

Puncak Prajna adalah bukit besar yang tumbuh dari peninggalan Buddha setelah nirwana-nya. Dataran tinggi tempat Biksu Kepala Kitab Suci duduk adalah tangan kiri Buddha. Selama bertahun-tahun, telapak tangan Buddha tetap terbuka, dengan dua jari ditekan bersama seolah-olah mereka sedang mengambil bunga, yang dulunya adalah pohon pir. Bertahun-tahun yang lalu, pohon pir telah dihapus oleh Akademi sehingga tidak ada bunga di tangan Sang Buddha sejak itu. Niat mengambil bunga sudah hilang. Hanya telapak tangan terbuka yang menempel di dada tempat pohon itu ditutupi tanaman merambat dan Pohon Bodhi di tebing.

Ketika para bhikkhu akhirnya tiba di dataran tinggi, mereka hanya bisa melihat reruntuhan yang mengerikan. Bekas tanaman rimbun yang subur dipotong dan tersebar seperti ular mati di antara reruntuhan stupa putih dan kuil kuno. Dan pohon-pohon Bodhi semuanya lenyap, mungkin hancur dan terkubur di bawah bebatuan.

Ada celah yang dalam di dataran tinggi itu seolah turun melalui gunung ke anak sungai. Dan sebuah gua yang dalam di tebing memancarkan horor yang mendalam. Tidak ada yang tahu seberapa dalam gua itu, dan apakah langsung menuju atau menyodorkan hati Buddha. Apakah Kepala Biksu ada di sana?

Jauh di dalam Prajna Peak, sekitar belasan mil jauhnya dari pintu masuk, masih ada guntur dan batu terbang. Mereka menabrak dinding dan menciptakan poni rendah.

Batu-batu menghantam dinding dan menciptakan poni rendah karena itu adalah terowongan yang baru terbentuk ketika tubuh Kepala Biksu didorong ke tebing. Permukaan dinding dipanaskan menjadi merah, hampir meleleh dan berubah menjadi magma oleh gesekan.

Jauh di dalam gua, tidak ada cahaya kecuali kemerahan redup di dinding. Tetapi dua orang di dalam bukanlah manusia biasa sehingga mereka dapat melihat dengan jelas.

Debu mereda dan guntur berhenti.

Tangan Jun Mo gemetar sambil memegang pedang besi. Darah menyembur dari lukanya dan jatuh ke tanah yang panas mendesis.

Kepala Biksu itu masih terangkat ke udara oleh pedang besi. Kasaya-nya robek dan tongkatnya hilang. Biksu tua kurus itu ternoda debu dan tampak sedih.

Kedua panah besi itu menembus dada Biksu Kepala. Panah yang tajam pasti telah dipakukan ke tebing di belakang Kepala Biksu. Hanya setengah dari poros yang terlihat sedikit bergoyang.

Sejak dia mendapatkan tubuh vajra yang tidak bisa dihancurkan, mungkin untuk pertama kalinya dia terluka oleh senjata manusia. Para biarawan dari Kuil Xuankong pasti akan terpana jika mereka bisa melihat ini. Tetapi Biksu Kepala tidak berdarah. Meskipun dia didorong oleh dua panah besi Ning Que, dia tidak berdarah sama sekali. Wajah pucatnya juga tidak memerah, atau ada darah yang keluar dari dadanya.

Luka pada tubuh yang ditusuk oleh panah besi itu khas. Tetapi tidak ada darah, daging atau bahkan tulang di dalamnya. Tubuh itu tampaknya terbuat dari emas atau batu giok, bukan dari daging manusia.

Kepala Biksu Kitab Suci menatap Jun Mo dan berkata dengan susah payah, “Sudah saya katakan. Kamu tidak bisa membunuhku dengan panah. ”

Jun Mo tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengisi setiap bit budayanya ke dalam pedang besi, dan menumbuknya ke dua panah besi tanpa emosi.

Poni berdentum terus terdengar dari jauh di dalam gua. Setelah beberapa lama, hentakan akhirnya berhenti. Jun Mo mendukung tubuhnya yang lelah dengan pedang besi dan beristirahat sebentar. Lalu dia berdiri tegak lagi, memandang ke atas ke arah tebing dan mengangguk puas.

Dia telah benar-benar membengkokkan dua panah besi padat dengan pedang besinya, dan mengubahnya menjadi belenggu. Mereka didorong melalui tubuh Kepala Biksu dan membuatnya mustahil baginya untuk melarikan diri.

Kepala Biksu Kitab Suci tidak pernah bisa melangkah ke tanah. Punggungnya juga tidak bisa mencapai tebing. Satu-satunya hubungan antara dia dan dunia luar adalah dua panah besi yang tertekuk sekarang.

Ikatannya dengan bumi benar-benar terputus.

Jun Mo tentu saja sangat puas. Kemudian dia mengingat apa yang dikatakan oleh Kepala Biksu Kitab Suci sebelumnya: “Kami tidak dapat membunuhmu dengan panah. Tapi kami bisa menangkapmu sampai mati. ” Sambil berkata begitu, dia tampak sangat tenang namun penuh dengan kebanggaan. Dia mengalahkan Buddha yang hidup bersama dengan Saudara Bungsunya, dan memenjarakannya di gua. Bagaimana ini tidak luar biasa?

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–