Nightfall Chapter 153

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 153: Tahun Keempat Belas, Musim Panas Terakhir, dan Naik Ke Atas Hari Ini

Penerjemah: TransN Editor: TransN

Pahlawan itu selalu menjadi orang terakhir yang debut.

Di medan perang yang berdebu, beberapa sub-jenderal telah bertarung sengit dengan pisau dalam waktu yang lama. Alih-alih menahan pihak lain, mereka sering mengalami kekalahan. Kemudian seorang tentara berjubah perak tiba-tiba mengangkat tali kekang untuk langsung menyerbu kuda, membunuh semua musuh. Dia kemudian berdiri di alam liar dengan tombaknya saat senja bersinar di wajahnya, tampak sangat anggun.

Geng-geng pemuda saling memotong di jalan-jalan hujan, di mana darah yang disemprotkan bahkan lebih padat dan lebih kuat daripada hujan. Lusinan mayat tergeletak berantakan di jalan-jalan dari kota Barat ke kota Selatan. Dan kemudian seorang pemimpin berpakaian hitam yang memegang pisau baja muncul, berteriak dan melambaikan pisaunya seolah naga darah terbang dari satu sisi ke sisi lain. Di bawah pisau seorang pria yang sangat kuat tidak ada musuh yang bisa menyaingi dia, di bawah kakinya tidak ada nyawa yang selamat.

Adapun alasan mengapa pemuda berjubah perak dan pemimpin berkulit hitam tidak terlibat sejak awal sampai bawahan dan adik laki-lakinya dengan menyedihkan terluka dan kehilangan nyawa mereka — itu, tentu saja, bukan karena mereka menderita karena kebiasaan. penundaan seperti yang dimiliki pendongeng. Sebaliknya, itu karena mereka tahu pasti bahwa sikap elegan mereka dapat disorot hanya setelah periode menunggu yang lama dan brutal.

Ketika Lantai Dua dibuka, sejumlah besar orang mulai mendaki gunung untuk naik ke puncak. Itu termasuk pria yang sangat diinginkan, Pangeran Long Qing, yang sudah berangkat, sementara Ning Que masih berdiri diam di sudut dan belum memulai saat ini.

Dia bisa menafsirkan keterlambatannya sebagai upaya untuk menganalisis masalah yang mungkin muncul dalam pendakian gunung dengan mengamati pengalaman para petani muda tentang pendakian gunung. Namun dia harus mengakui bahwa alasan yang lebih penting di dalam hatinya adalah bahwa dia sebenarnya tidak peduli dengan kehidupan dan kematian para pendaki yang bersedih di jalan gunung yang miring yang bukan bawahannya atau sub-jenderalnya. Di bawah situasi seperti itu di mana dia memiliki sedikit kepercayaan diri untuk masuk ke Lantai Dua, mengapa tidak menikmati sensasi dari tahap terakhir?

Pahlawan itu selalu menjadi orang terakhir yang debut.

Bahkan sampai akhir, pahlawan masih akan menjadi Pangeran Long Qing, yang terus berdiri tinggi di atas massa dan menjadi terlalu sempurna untuk menjadi manusia. Setidaknya pada saat ini, Ning Que, kehadiran terakhir, tidak diragukan lagi adalah pahlawan saat ini.

…

…

Ide Ning Que benar-benar berubah menjadi kenyataan.

Ketika dia mengambil kue dari Chu Youxian yang dibungkus dengan sapu tangan dan terus berjalan menuju bagian belakang Akademi di halaman, sepasang mata yang tak terhitung jumlahnya yang penuh dengan emosi yang kompleks, baik kejutan atau frustrasi, tetapi yang terpenting, keraguan, ditangkap olehnya.

Sudah lama sejak Lantai Dua dibuka. Orang-orang dapat melihat dari pendakian gunung hari ini bahwa itu akan menjadi kemenangan besar bagi Pangeran Long Qing. Pada saat ini, bagaimana mungkin beberapa pria yang tidak tahu berterima kasih muncul di sini untuk mengganggu khidmat dan menunggu suci orang lain untuk pangeran yang anggun, Long Qing?

“Sepertinya itu adalah siswa dari Akademi.”

Utusan Kerajaan Sungai Besar, melihat pakaian dan ornamen Ning Que, bertanya dengan alis rajutan, “Apakah dia ahli bersembunyi di Akademi?”

“Enam siswa dari kursus keterampilan sihir semuanya ada di gunung, empat di antaranya telah dibawa kembali. Sepertinya para instruktur Akademi juga tidak tahu apa yang terjadi, menilai dari keheranan mereka. ”

Di antara kerumunan siswa Akademi, Zhong Daojun, berusaha menekan keterkejutannya, menyaksikan Ning Que, yang tetap berada di tengah diskusi, dan kemudian bertanya sambil mencibir, “Apakah kamu menjadi gila lagi? Tidakkah Anda merasa cukup malu tahun ini? ”

Situ Yilan tanpa sadar melangkah maju dengan tangannya sedikit mengepal lengan bajunya, dan menatap ke depan di Ning Que dengan wajahnya penuh rasa ingin tahu dan khawatir. Meskipun dia tahu Ning Que tidak separah yang dikatakan teman-teman sekelasnya, dia benar-benar tidak tahu mengapa dia harus naik gunung pada saat ini dan mengapa dia percaya bahwa Ning Que memiliki kesempatan untuk memasuki Lantai Dua.

Di bawah payung emas besar berdiri Lee Yu, yang sedang memandangi anak yang tidak aneh atau tidak asing, yang tampaknya tenggelam dalam pikirannya. Dia bertanya-tanya mengapa dia memiliki rasa percaya diri dan harapan yang kuat pada dirinya, memikirkan adegan dalam perjalanan kembali dari padang rumput tahun lalu, dan memikirkan apa yang dikatakan Lyu Qingchen dengan tegas sambil tersenyum. Tapi sebenarnya, dia tidak tahu dari mana rasa kuat itu berasal.

Li Peiyan memperhatikan pandangan Lee Yu dengan ekspresi serius dan tanpa belas kasih di wajahnya. Sebagai Pangeran Kekaisaran Tang, ia sangat ingin melihat seorang pemuda Kekaisaran Tang dari Akademi berdiri untuk melawan martabat Kekaisaran, tetapi hal terakhir yang ia inginkan adalah agar acara ini menghasilkan terlalu banyak variabel.

Imam Moli tidak menganggap Ning Que cukup layak untuk menjadi variabel. Dia melirik sekilas dan tidak lagi peduli sama sekali. Sekarang Pangeran Long Qing telah memasuki gunung di tengah kabut tebal dan mungkin berhasil mencapai puncak di saat berikutnya. Bagi Priest Moli, Ning Que hanyalah kertas yang sempurna untuk kejayaan West-Hill dan sang pangeran, tidak peduli apakah dia menonjol karena bermain ke galeri atau mendapatkan instruksi dari Akademi.

Bagi orang-orang yang kurang bertekad dengan pikiran berkeliaran, semua penampilan ini — terutama visi yang menginspeksi dan membingungkan dari begitu banyak tokoh besar di sekitar tanah batu Akademi — berkumpul pada seseorang mungkin terlalu berat dan menghancurkan seorang siswa yang ramping.

Tapi bagi Ning Que, tatapan dari orang lain adalah keberadaan yang paling ringan dan kekuatannya di dunia, dan hal yang sama berlaku untuk tatapan yang lebih banyak. Apa yang akan dia lakukan tidak ada hubungannya dengan orang-orang ini, jadi emosi dalam tatapan mereka tidak mempedulikannya.

Profesor itu, yang bertanggung jawab memimpin upacara pembukaan Lantai Dua hari ini, berdiri kosong di depan tanah batu. Melalui pengantar instruktur sebelumnya, ia mengetahui bahwa Ning Que adalah seorang siswa Akademi, dan beberapa rumor tentang anak ini telah terdengar tahun ini.

“Mengapa kamu di sini?” tanya sang profesor.

Ning Que melontarkan senyum jujur dan menyapa dengan busur dan tangannya terlipat di depan, bertanya, “Apakah saya tidak diizinkan? Saya tidak tahu bahwa batas waktu untuk aplikasi termasuk dalam aturan yang Anda nyatakan sebelumnya. ”

“Tentu saja tidak. Saya baru saja mendengar bahwa Anda berpura-pura sakit dan berhenti ujian semester tahun lalu karena takut kalah dari saingan Anda, jadi saya tidak bisa mengerti mengapa Anda di sini naik gunung hari ini. ”

“Jika berhenti ujian dan naik gunung berada di dua sisi yang saling bertentangan secara logis,” Ning Que menatap profesor dan dengan tenang melanjutkan, “maka aku berani naik gunung hari ini akan menyatakan bahwa rumor dan tuduhan itu terhadapku di Akademi itu salah. ”

Melihat murid yang biasa tapi fasih ini di depannya, profesor itu tampak cukup bahagia, tersenyum dengan kedua alisnya yang keperakan terangkat oleh angin musim semi. Alih-alih memberi jalan bagi Ning Que, dia terus berkata dengan sedikit minat,

“Tapi aku masih ingin tahu mengapa kamu naik gunung hari ini.”

Ning Que tertawa dan menjawab, “Jika ditanya oleh orang-orang dari Istana Ilahi West-Hill atau utusan Utusan Khusus, saya pasti akan memberi mereka jawaban yang mengerikan. Untukmu, tentu saja, aku harus menjawab dengan jujur … Untuk naik gunung, hanya karena aku mau. ”

Profesor itu tertawa, membelai janggut abu-abunya, dan berseru sambil menggelengkan kepalanya, “Jawaban yang bagus. Ini adalah jawaban terbaik yang pernah saya dengar dalam beberapa tahun terakhir. ”

Kemudian dia melanjutkan dengan rasa ingin tahu, “Apa yang akan kamu jawab jika kamu ditanyai oleh orang-orang dari West-Hill dan Yan Kingdom?”

“Jika aku ditanyai, aku akan mengatakan …”

Ning Que malu-malu tersenyum dan berkata, “Karena gunung itu ada di sana.”

Profesor itu terpana dan jari-jarinya yang membelai janggutnya sedikit menegang. Kemudian dia tertawa dan memujinya, memandang Ning Que dengan cara yang mengatakan bahwa anak itu layak untuk diajar. “Ini juga jawaban yang bagus.”

“Silakan,” profesor melanjutkan sambil tersenyum, “tetapi jalan gunung curam dan kasar. Jika Anda tiba-tiba ingin berhenti mendaki di tengah jalan, turun saja. Dan saya akan selalu berdiri di samping Anda, menyalahkan siapa pun yang berani mencemooh dan mencemooh Anda. ”

Ning Que tertawa dan membungkukkan badan dalam sebelum pergi.

Profesor mengawasinya pergi ke gang yang sunyi, dan berpikir bahwa tidak semua siswa sesi ini adalah orang yang tidak berguna, dengan ringan membelai janggutnya dan mengangguk puas.

…

…

Ning Que sangat akrab dengan jalan setapak ke gunung, setidaknya untuk bagian di awal. Jalan setapak, lahan basah, bambu, dan bangunan kecil semuanya terkenal dan batu-batu biru di tepi danau ingat langkah kakinya. Dia mendongak dan melambai untuk menyapa setelah tiba di perpustakaan tua.

Chen Pipi yang gemuk bersandar di jendela, melambai ke bawah di luar. Jika dia tidak ingin dilihat oleh Pangeran Long Qing dan para pendaki itu, maka mereka tidak bisa; tapi Ning Que akan secara alami bisa melihatnya jika dia mengizinkan Ning Que.

“Jika kamu benar-benar tidak bisa memanjat, jangan mencoba untuk berani.” Chen Pippi mengingatkannya.

“Bisakah kamu mengucapkan kata-kata keberuntungan?” Ning Que bertanya, menatapnya, “Mengapa tidak ada orang, termasuk Anda, percaya saya mampu naik ke puncak?”

“Jalan setapak menuju gunung tidak akan semudah itu.” Chen Pippi merentangkan tangan gemuknya dan dengan tulus melanjutkan. “Selain itu, Anda benar-benar selemah kucing atau anjing dibandingkan dengan Pangeran Long Qing.”

Ning Que tidak bisa diganggu untuk melanjutkan percakapan dan berjalan ke sisi perpustakaan lama setelah melambaikan tangannya. Dia tiba-tiba memikirkan sesuatu dan kemudian berhenti, berbalik untuk bertanya dengan enggan, “Tidak ada pintu belakang?”

Chen Pipi, membuka kisi jendela, berteriak, “Keluar dari sini.”

Ning Que menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan terus bergerak maju. Sebuah pintu belakang tiba-tiba ditemukan setelah dia melewati perpustakaan tua itu — dia menghabiskan satu tahun penuh di perpustakaan tua menonton pemandangan lantai bawah dari lantai atas atau berjalan-jalan di lantai bawah. Dia cukup jelas bahwa ada dinding abu-abu lusuh di sini, tapi sekarang malah menjadi pintu.

Di belakang pintu ada jalur batu biru, dua sisi di antaranya ditumbuhi bambu hijau yang secara bertahap menyebar hingga jarak antara hutan dan rumput di lereng gunung.

Ning Que melangkah melewati ambang pintu dan berjalan menuju gunung di sepanjang jalan setapak di hutan bambu.

Tanpa situasi abnormal yang terjadi, dia berjalan sedikit demi sedikit semakin tinggi di sepanjang jalan, melintasi pagar di bawah dan melewati hutan bambu yang indah, di mana orang-orang dari Akademi di kejauhan bisa terlihat samar ketika dia kembali.

Jalan depan menjadi lebih sempit dan lebih sempit, di mana batu nisan biru telah diganti dengan batu yang lebih kecil. Hutan di sebelah jalan sangat sepi tanpa kicauan burung sehingga agak aneh.

Rasa sakit yang tak dapat dijelaskan dan intens menghantam otak Ning Que, yang ditransmisikan dari kaki kanannya saat itu diatur di jalan, dengan alisnya tiba-tiba mengencang dan wajahnya langsung berubah pucat seperti salju.

Ning Que merasa lemas di lututnya dan hampir jatuh karena rasa sakit yang tiba-tiba, tetapi dia secara paksa didukung dengan tangannya di tanah untuk menarik dirinya lagi setelah suara berdengung, dan kemudian melihat sisi jalan gunung.

Tebing tertutup lumut bisa terlihat di tengah hutan hijau. Jika diamati dengan cermat, mungkin dapat dibedakan bahwa garis-garis itu, seperti celah-celah batu di bawah lumut lebat, sebenarnya adalah beberapa karakter besar yang terukir di atas batu. Namun vermilion yang dilukis dengan goresan karakter-karakter itu telah lama dikaburkan di bawah serangan angin dan hujan selama beberapa tahun terakhir.

“Sungguh kekuatan Psyche Attack yang kuat ini. Mungkin kata-kata ini ditinggalkan oleh Divine Talisman Masters … ”

Ning Que menatap karakter-karakter itu dan tangannya yang menggantung sedikit menggigil. Pada saat itu, ribuan pin baja yang tidak terlihat menembus kakinya. Untuk pria biasa, rasa sakit semacam ini mungkin sudah membuatnya jatuh ke tanah dan menangis putus asa. Tetapi dia luar biasa sadar meskipun wajahnya pucat dan tangannya gemetar, seolah-olah rasa sakit itu tidak berdampak pada dirinya.

Sebelumnya ketika dia menyaksikan jalan gunung yang jauh dari Akademi, dia bisa melihat bahwa Xie Chengyun dan yang lainnya berjalan dengan kesulitan dan keterlambatan yang ekstrem di jalan. Meskipun ekspresi wajah mereka tidak terlihat, rasa sakit mereka bisa dirasakan samar-samar. Kemudian Ning Que menebak penghambat macam apa yang telah dipasang di jalan gunung, tidak pernah berharap bahwa ujian di Lantai Dua Akademi begitu biadab sehingga Jimat Ilahi yang begitu drastis dimungkinkan pada permulaan.

Sekarang dia akhirnya mengerti mengapa anak-anak muda yang luar biasa itu yang mengolah Taoisme dari seluruh dunia berjalan dengan susah payah dan selambat boneka di jalan gunung ini. Di bawah Jimat Ilahi, setiap lingkungan alami di sekitar jalan mungkin menjadi bahaya yang mencegah orang naik gunung. Tidak ada yang bisa menghindarinya, tetapi harus memaksakan cara mereka!

Ning Que mengerutkan alisnya dengan erat, mengawasi kaki kanannya di jalan beraspal dengan kerikil. Dia tertawa gugup tiba-tiba dan menarik kaki kirinya ke atas yang telah tertinggal dan melangkah di jalan dengan kekuatan di pinggangnya dan dengan bersandar ke depan.

Dia melangkah sekuat yang dia bisa, seolah-olah dia akan menginjak jalan yang rusak.

Banyak jarum tak terlihat mencuat dari celah-celah kerikil menusuk dalam-dalam kakinya melalui sol kerasnya. Rasa sakit luar biasa itu dengan cepat menggantikan rasa gatal sesaat dan kemudian dengan jelas masuk ke otaknya.

Wajah Ning Que menjadi lebih pucat. Tapi alisnya yang berkerut secara bertahap mengulur, dan dia kemudian mengambil napas dalam-dalam sebagai kenikmatan, mengayunkan tangannya untuk bergerak maju.

…

…

Banyak orang menatap Ning Que dan mulai memperhatikan perilakunya ketika dia muncul di jalan gunung. Mereka menyaksikan dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan konsentrasi atau dengan rekan yang tenang, karena kepedulian yang sebenarnya atau hanya ingin tahu, atau keluar dari ejekan.

Mereka menyaksikan Ning Que melangkah di jalan gunung dan hampir jatuh ke tanah dengan setiap langkah. Di bawah keadaan ini, beberapa dari mereka tidak bisa tidak menggelengkan kepala mereka, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak.

Imam Moli dengan acuh tak acuh berbicara dengan Utusan Khusus dari Kerajaan Yan, tampaknya sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di jalan. Namun dia masih tidak bisa menahan ejekan menggelengkan kepalanya setelah melihat Ning Que jatuh.

Sebagai seorang jenius dalam kultivasi, Pastor Moi bisa, setelah pengamatan yang begitu lama, entah bagaimana samar-samar menebak penghambat macam apa yang telah dipasang di jalan gunung oleh Akademi. Pada saat ini, dia bisa mengkonfirmasi bahwa Ning Que paling banyak telah memasuki Negara Tanpa Ragu, karena Ning Que tampak sangat sedih ditekan oleh Jimat Ilahi — Negara Tanpa Ragu? Mungkin mungkin dianggap sebagai tingkat yang baik dalam kursus keterampilan sihir di Akademi, tetapi itu adalah angan-angan untuk Ning Que, yang ingin membuat kudeta hebat setelah beberapa hari toleransi, untuk mengandalkan No Doubts-nya. Negara.

Dari kalangan siswa Akademi, Zhong Dajun menunjuk ke jalan gunung dan berkata sambil mencibir, “Luar biasa hebat, dia hanya ingin mencuri perhatian. Dia tidak pernah mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang akan dibawa ke reputasi Akademi untuk menunjukkan dirinya dengan cara ini. ”

Situ Yilan tidak bisa menahan nafas ketika dia menyaksikan Ning Que jatuh. Mendengar ejekan dari kerumunan, dia memelototi Zhong Dajun dan kemudian bergerak maju memegang tangan Jin Wucai untuk menarik lebih jauh dari teman sekelasnya.

“Tanganmu agak dingin,” kata Jin Wucail, menatapnya dengan khawatir. Meskipun Jin Wucai, cucu Kanselir Lama, lebih peduli tentang Xie Chengyun, yang masih berjuang keras di jalan gunung, dia masih mengkhawatirkan pasangan wanitanya di sisinya karena Ning Que tampaknya tidak memiliki peluang untuk berhasil.

“Tidak apa-apa. Saya tidak ingin melihat wajah jahat mereka. ” Situ Yilan melirik teman sekelasnya, yang berbicara satu sama lain di belakang mereka, dan melanjutkan dengan mencibir. “Bahkan jika Ning Que hanya bisa mengambil langkah di jalan gunung, dia masih lebih kuat daripada orang-orang ini yang bahkan tidak berani mencobanya.”

Jin Wucai menatap jalan gunung rindang di kejauhan, berkata dengan cemas, “Ternyata, aku takut Ning Que tidak bisa lagi mengambil langkah berikutnya.”

Situ Yilan tidak memberikan jawaban dan hanya memusatkan perhatiannya pada jalan gunung, diam-diam bersorak untuk temannya yang telah lama dilupakan oleh Akademi. Tiba-tiba, sedikit kejutan yang menyenangkan melayang di pipinya yang jernih. Kemudian dia menunjuk ke kejauhan dengan lompatan ringan, berteriak, “Lihat! Lihat! Ning Que mulai bergerak maju lagi! ”

Sebagian besar siswa Akademi memperhatikan apa yang sedang terjadi. Mereka menyaksikan Ning Que menarik dirinya dengan susah payah dan kemudian menggerakkan kaki kirinya untuk mengambil langkah maju setelah beberapa saat berhenti.

Kemudian Ning Que mengambil langkah kedua, langkah ketiga, tetapi empat langkah … Meskipun jelas bahwa tubuhnya gemetar dan bergerak dengan kecepatan lambat, ia tampaknya berjalan semakin stabil, seolah-olah setiap langkahnya sangat menapaki ke jalan gunung yang keras!

Seseorang di kerumunan berteriak.

Seorang pejabat muda dari Kementerian Ritus Kekaisaran Tang berdiri dan menatap jalan gunung dengan wajah penuh kegembiraan. Dia tidak tahu siapa siswa muda di jalan gunung itu dan tidak percaya bahwa siswa muda itu bisa mengalahkan Pangeran Long Qing untuk naik ke puncak. Tetapi dia merasakan kebanggaan dan kepercayaan diri sebelumnya yang telah ditekan kembali ke tubuhnya sendiri ketika siswa muda itu terus bergerak maju.

Chu Youxian, yang mengambil paket makanan ringan kedua untuk dimakan di sudut, menjadi terkejut dan membuka mulutnya lebar-lebar, namun dia tiba-tiba lupa untuk memasukkan makanan ringan ke dalam mulutnya. Menatap sosok di jalan gunung, dia tiba-tiba menemukan bahwa dia tidak pernah benar-benar mengenal anak itu dengan baik.

Lee Yu memandang jalan gunung dan terdiam sesaat sebelum tersenyum kecil.

Chen Pipi melihat ke arah jalan gunung yang bersandar ke jendela perpustakaan lama, dan berkata dengan emosi, “Kamu terlalu keras untuk dirimu sendiri. Omong-omong … bisakah orang yang lebih kejam dari Anda ditemukan di dunia ini? Saya ingin tahu seberapa jauh Anda bisa melangkah? Saya masih tidak tahu. ”

Setelah menyelesaikan kalimat ini, dia menutup jendela ketika beberapa daun hijau jatuh.

…

…

Beberapa daun hijau jatuh dari angin dan kemudian melewati bahu Ning Que untuk mendarat di tanah akhirnya.

Hutan hijau di samping jalan gunung terdiri dari banyak jenis pohon, tetapi sektor ini sebagian besar ditanami dengan bambu, yang ujung-ujung daunnya tampak setajam potongan pisau tajam.

Daun bambu yang jatuh sebenarnya setajam pisau, dan bukan hanya setajam pisau.

Dengan suara yang tajam, daun bambu yang menyapu bahu Ning Que langsung merobek pakaiannya seperti pisau tajam dan kulitnya terkelupas, dan akhirnya terkoyak luka berdarah tipis.

Ning Que melihat bahunya tanpa melihat lubang di pakaiannya, darah di daun bambu, atau luka berdarah.

Tetapi dia tahu bahwa sesuatu pasti telah terjadi karena dia menerima rasa sakit yang jelas dan intens dari pundaknya. Dia bahkan bisa merasakan sensasi yang tak tertahankan dari benda asing dalam luka berdarah yang dibawa oleh rambut daun bambu.

Dia mengangkat tangan kanannya untuk menyeka bahunya seolah-olah dia berdebu. Perilaku ini, tentu saja, tidak bisa menghilangkan luka dan rasa sakit yang tak terlihat yang ditinggalkan oleh daun bambu. Tetapi dia berpikir bahwa itu luar biasa bahwa dia merasa jauh lebih santai dan dapat terus bergerak maju setelah menyelesaikan gerakan ini.

Daun bambu lainnya berdesir untuk berjatuhan, bergesekan dengan pipinya, dadanya, dan punggungnya, lalu beristirahat di jalan gunung berkerikil.

Pakaiannya sama seperti sebelumnya, tetapi robekan yang tak terlihat dan tak terhitung banyaknya penderitaan ditambahkan yang tak tertahankan bagi orang biasa. Wajahnya tetap tidak berubah, tetapi semakin pucat.

Angin sepoi-sepoi gunung datang, dan potongan-potongan daun bambu yang tak terhitung jumlahnya tersapu ke udara, dan kemudian jatuh seperti badai.

Ning Que, berjalan di tengah hujan bambu ini, tidak lagi repot untuk mengeluarkan daun yang akan mendarat di pundaknya. Sebaliknya, dia terus bergerak maju dalam keheningan, seolah di matanya yang cerah dia bisa melihat hujan bambu turun tahun lalu ketika dia membunuh Yan Suqing di rumah kecil di tepi danau itu.

Dia berjalan dengan penuh perhatian dan keras. Setiap langkah yang diambilnya diinjak-injak dengan tanah berdebu dari sol sepatunya. Dia menabrak kekacauan daun bambu dan melewati rasa sakit.

Sementara hujan bambu turun, itu adalah waktu yang tepat untuk membunuh dan mendaki gunung.

…

…

Seseorang mungkin bisa menikmati pemandangan ketika mulai terlambat, tetapi akan sulit bagi mereka untuk mengimbangi yang lain. Selain itu, mereka hanya bisa berjalan sendirian di jalan gunung tanpa ada yang di depan atau di belakang mereka.

Ning Que merasa agak haus dengan mulutnya seolah mengeluarkan asap. Dia ingin minum air, dan pada saat itu suara air yang terisak terdengar.

Dia melihat sekeliling, dan melihat aliran air tipis yang menyembur keluar dari celah di tebing di samping jalan. Itu berubah menjadi genangan air seukuran tangan dalam depresi batu di pangkalan, di sebelahnya tumbuh rumput liar.

Dia tidak pergi minum musim semi atau mengasihani rumput.

Karena aliran air yang tipis tiba-tiba berubah menjadi air terjun kuning yang terburu-buru dan memukulnya, seolah-olah ingin menjatuhkannya, ke batu besar yang ditutupi lumut di bagian bawah kolam yang dalam.

…

…

Dia terus berjalan maju dengan perhatian dan kekuatan seperti sebelumnya. Setiap langkah yang diambilnya intens dan berat. Dia berjalan perlahan dan mantap melewati hutan di sepanjang jalan gunung dan kemudian sampai di tengah padang rumput.

Tanpa naungan pohon, sinar matahari yang menyala-nyala itu tanpa percikan membasahi padang rumput dengan lapisan merah, seolah-olah itu akan membakar semua yang ada di sisi jalan gunung.

Ning Que melirik langit dengan tangannya menutupi dahinya, dan kemudian mendesah lelah. Dia memperhatikan bahwa danau kecil yang memantulkan cahaya seperti cermin terletak di samping jalan gunung di depannya.

Danau itu kecil, tenang, dan cukup jernih sehingga ikan bisa terlihat berenang diam-diam di dalam.

Bunga kecil kekuning-kuningan mekar di tepi danau.

Itu menggigil di tengah angin yang bertiup, sepertinya sangat ketakutan.

Riak kecil menyebar di danau yang tenang, di mana ikan kecil mengibaskan ekornya dan menghilang di antara batu.

Lautan marah kemudian muncul di mata Ning Que. Air lautnya sangat biru dan bahkan hitam seperti tinta yang dia kenal. Itu terus bergulir, memicu gelombang seperti gunung, membuat raungan marah, terus-menerus menjilat tanggul dan melawan Ning Que, yang berdiri di tanggul.

Kakinya berdiri seperti paku di tanggul, menatap gelombang hitam gagak yang luar biasa. Meskipun tubuhnya sepertinya dihantam batu-batu besar dan pakaiannya yang basah kuyup dan dibawa kembali ke laut oleh air laut, dia masih belum pernah mundur.

Lalu lautan berdiri.

Air laut yang gagak seperti tinta, berdiri seperti dinding. Tidak, seperti bumi sebenarnya.

Laut memotong langit menjadi dua bagian perlahan menekan ke arahnya. Di laut yang membagi langit dan bumi secara vertikal terlihat pusaran air yang lebih besar dari gunung, burung laut yang terbang tanpa hasil di mana-mana dengan rengekan sedih, dan kematian.

Lalu laut jatuh.

Ning Que jatuh juga.

Dia jatuh dengan berat di jalan gunung, mengencangkan alisnya dengan menyakitkan dan menyemprotkan seteguk darah.

Danau itu masih tenang, tidak lain dari beberapa riak.

…

…

Suara damai tapi bangga terdengar di kedalaman kabut.

Gaya kebanggaan ini berbeda dari Pangeran Long Qing, yang berpura-pura tidak peduli. Orang yang memiliki suara itu tidak mau bersembunyi atau dengan sengaja menunjukkan harga dirinya. Kebanggaannya yang terbaring di dalam hatinya yang kuat benar-benar asli, yang tidak menjijikkan.

“Sebuah legenda mengatakan bahwa tulisan tangan di tebing itu diukir oleh mantan pendahulu dari Akademi. Jika seseorang membuka penghambat dan berniat untuk menerobosnya, semakin ia dapat menahan rasa sakit dan kekuatan yang tersirat dalam Jimat. Sebagai imbalannya, rasa sakit dan kekuatan yang diberikan jalan gunung kepada orang ini akan menjadi lebih kuat. ”

Suara tenang dan bangga itu berlanjut. “Bertahun-tahun yang lalu saya berkelahi dengan saudara tertua, yang temperamennya cukup jelas tentang Anda. Mustahil baginya untuk menjadi kejam bagiku, tetapi aku masih belum bisa mengalahkannya. Karena marah, saya meremas cetakan yang sering digunakan oleh instruktur untuk membuat kue prem, sehingga guru membuat keputusan brutal dengan marah untuk menghukum saya melalui jalan gunung. ”

Semburan seru terdengar di kabut gunung, dan berbagai alasan untuk fenomena ini bisa dimasukkan. Beberapa orang kagum melihat betapa kuatnya Saudara tertua; beberapa kagum pada Saudara Kedua, yang cukup kuat untuk meremas cetakan kue baja stainless Kepala Sekolah yang diukir dengan Fu tanpa senjata; beberapa terkesan dengan keberanian ekstrem Second, yang berani membiarkan Kepala Sekolah melewatkan kue prem …

“Tahun itu ketika saya sedang melintasi jalan gunung, gerakan yang saya gerakkan tentu jauh lebih besar daripada yang disebabkan oleh orang ini. Pada akhirnya, saya tidak jatuh ke tanah sampai meteorit galaksi terbang ke mana-mana. Namun, tidak mudah bahwa orang ini mampu membuat lautan mengamuk. ”

Seseorang dalam kabut setuju, dan berkata dengan emosi, “Sepertinya semakin banyak rasa sakit yang Anda tanggung, semakin kuat rasa sakit yang harus Anda derita. Orang ini agak sial. ”

“Sial?” seseorang bertanya dengan marah.

“Sial,” pria itu dengan cepat menjelaskan.

“‘Kamu belum pernah melihat Paman Bungsu, hanya Saudara tertua dan aku yang pernah melihatnya,”

Kedua Saudara dengan bangga mengatakan, merasa sedikit lega, seolah-olah itu adalah hal yang sangat bangga telah melihat Paman Termuda sebelumnya.

“Paman termuda pernah berkata bahwa nasib itu sendiri adalah orang yang sangat kejam. Jika Anda memilih untuk menjalankan misi, dan kemudian sebelum memastikan bahwa Anda memenuhi syarat, itu akan melakukan apa saja yang mungkin untuk mematahkan setiap tulang di dalam Anda dan melucuti setiap jejak daging dan darah Anda, yang memungkinkan Anda untuk menderita rasa sakit yang paling ekstrem. di dunia sehingga membuat kemauan dan temperamenmu tangguh dan cukup memenuhi syarat untuk dipilih oleh takdir … ”

Seseorang berbicara dan mengingat dengan bebas di tengah-tengah kabut tebal, sementara yang lain berbisik membantah. “Sepertinya yang paling dikagumi Kakak Kedua adalah Paman Termuda, ah.”

…

…

“Bukan apa-apa untuk membuat setiap tulang patah, melucuti setiap jejak daging dan darah, atau menanggung penderitaan paling ekstrem di dunia. Sementara aku tinggal di padang rumput Gunung Min, tulang mana yang tidak patah? Bagian mana dari tubuh saya yang tidak terluka? ”

Ning Que membungkuk ke jalan gunung yang keras, merasakan ujung-ujung kerikil di bawahnya. Tampaknya semua tulang di tubuhnya telah hancur oleh laut, tetapi matanya tidak memiliki rasa takut sedikit pun, hanya ketidakpedulian yang ada.

Dengan kedua tangan menopang dia, dia berjuang untuk bangkit dan kemudian mengangkat lengan bajunya untuk menyeka darah di bibirnya. Dia melihat kembali ke jalan panjang berliku yang telah dilaluinya, sambil berteriak, “Saya membaca buku Anda di perpustakaan tua musim panas lalu!

“Aku telah melihat jarummu disembunyikan di buku-buku, juga daun bambu! Aku tertegun oleh air terjun sialan itu! Saya juga ditelan laut yang bau, tetapi bagaimana dengan saya? Saya masih berdiri di sini! Tahun lalu saya hanya orang biasa yang tidak tahu apa-apa, tetapi saya tidak digulingkan oleh semua itu. Belum lagi bahwa saya sudah jenius yang telah memulai jalan kultivasi sekarang. ”

Sebuah keheningan tergantung di atas danau jernih di padang rumput, dengan beberapa teriakan arogan bergema di sana. Tidak ada burung yang ketakutan untuk terbang keluar dari hutan, tidak ada serangga yang terkejut mengangkat kepala mereka — hanya pada saat itu gema menghilang dan menghilang, dan akhirnya kembali ke kedamaian. Ikan-ikan kecil itu, menggoyang-goyangkan ekornya, mengebor dari batu lalu berenang ke bawah sinar matahari.

Tiba-tiba memandang ke langit biru yang tidak dipisahkan oleh cabang, Ning Que secara bertahap tersenyum dan bergumam, “Tuan Haotian, kamu membuat saya sangat menderita selama tahun-tahun ini, jadi kamu berencana untuk membayar saya kembali ke sini?”

Ning Que berbalik dan, sambil menyeka darah menetes dari mulut dan hidungnya, dia berjuang maju dalam gerakan lambat dan keras. Dia terlihat canggung dan kesakitan, namun memiliki senyum tulus di wajahnya.

Dia tiba-tiba memikirkan sesuatu dan dia kemudian berkata, penuh penyesalan, “Terima kasih Tuhan? Anda harus berterima kasih kepada diri sendiri terlebih dahulu, karena Anda tidak mudah dalam hidup dan Anda sangat mampu. Inilah yang pantas Anda dapatkan. ”

…

…

Masa hening yang lama terjadi di ujung kabut.

Saudara Kedua tiba-tiba menghela nafas dan berkata, “Meskipun keadaan orang itu tetap buruk dan kemampuan kultivasinya buruk, sikap sombongnya terlihat sama dengan Pipi sampai batas tertentu.”

Suara samar lainnya terdengar, “Kakak Kedua, mengapa aku merasa aktingnya yang arogan mewujudkan gayamu sampai batas tertentu?”

…

…

Dengan matahari yang berangsur-angsur terbenam, suhunya sedikit menurun, tetapi jalan gunung masih cerah. Ning Que berjalan dengan susah payah, menyeka darah dan keringat. Dia tidak peduli tentang langkahnya yang lambat dan keras karena sejak dia mulai melarikan diri pada usia empat tahun, dan terutama ketika dia naik ke atas Gunung Min yang luas membawa Sangsang, dia telah memahami kebenaran — bahwa tidak masalah bahkan jika seseorang berjalan perlahan, kalau saja dia bisa terus berjalan, maka suatu hari dia akan mencapai tempat yang dia inginkan dan melampaui semua orang di pinggir jalan yang tidak berani memulai.

Pada titik ini dalam pendakiannya, Ning Que akhirnya melihat seorang rekan.

Dia menatap pria muda yang duduk di sisi jalan, dan melirik ke pedang resmi di pinggang pria muda itu. Dia ingat bahwa dia telah mendengar dari teman-teman sekelasnya di Akademi bahwa pria ini tampaknya adalah pendekar pedang dari Kerajaan Jin Selatan dan kekuatan yang dimiliki orang itu bermusuhan dengan keluarga Xie Cheng Yun. Ning Que tidak tahu apakah orang itu ada hubungannya dengan Liu Bai, Pedang Sage.

Memikirkan Liu Bai, Ning Que tidak bisa mengingat kata-kata yang profesor wanita katakan di hutan pedang pagi ini. Dia kemudian menyeka keringat dari dahinya, mengingat insiden yang menggetarkan jiwa di sepanjang jalan, dan tidak bisa menahan diri dari merasa sedikit penyesalan, tetapi dia segera menghilangkan semua penyesalan itu.

Pendekar pedang muda dari Kerajaan Jin Selatan jatuh ke pinggir jalan, dengan rasa sakit dan kengerian memenuhi wajahnya. Tangannya menempel pada pohon kecil seperti pria tenggelam yang memegang potongan kayu terakhir di laut. Tidak ada yang tahu dampak spiritual seperti apa yang dia alami di jalan gunung ini.

Melihat Ning Que lewat, pendekar pedang itu menunjukkan sedikit tanda malu di wajahnya. Dia tanpa sadar menggigit giginya dan perlahan-lahan tampak alis di alisnya, siap untuk bangkit.

Ning Que hanya diam-diam melewatinya daripada berhenti untuk berbicara dengannya. Tidak tahu apakah itu karena dampak yang diderita terlalu banyak hari ini, keluhan dan kebiasaan buruk yang tersembunyi dengan baik di dalam hatinya setelah datang ke Kota Chang’an mulai pecah tanpa tertahankan.

Bagaimana jika orang ini bangun lagi setelah mendapatkan motivasi saya? Bagaimana jika orang ini dapat tahan terhadap dampak spiritual di jalan gunung? Bagaimana jika orang ini dapat belajar sesuatu dari rasa sakit seperti yang saya alami, dan bahkan secara langsung menembus keadaan itu? Meskipun peristiwa probabilitas kecil semacam ini hanya terjadi pada orang seperti Pangeran Long Qing, bukankah aku akan menginspirasi pesaing potensial dengan tekadku sendiri? Bagaimana jika gunung belakang Akademi adalah tempat untuk menciptakan keajaiban?

Ning Que berpikir dan perlahan-lahan menghentikan langkahnya, mengingat bahwa dia tidak akan membiarkan hal-hal seperti itu terjadi. Dia menoleh ke pendekar pedang muda yang mencoba berdiri dengan susah payah dengan memegang pohon kecil, dan berkata dengan nada dan ekspresi yang paling tulus, “Tolong menyerah jika kamu tidak tahan lagi. Kami hanya di sini di gunung, tidak tahu apa lagi yang ada di depan. Baru saja saya melihat banyak orang terbawa gunung dengan tandu. Instruktur Akademi mengatakan bahwa dua pendaki telah menderita dampak spiritual yang begitu besar sehingga budidaya masa depan mereka mungkin terpengaruh. ”

Dia mengangkat jarinya untuk menunjuk ke dahinya sendiri dan dengan tulus berkata, “Jika kamu ingin melanjutkan, tentu saja, itu adalah sesuatu yang harus dikagumi, tapi aku menyarankan kamu untuk memikirkannya.”

Yang disebut keberanian dan tekad sering kali adalah masalah instan, dan jika seseorang mempertimbangkan dengan serius, maka semuanya akan berubah menjadi gelembung. Jika pohon kecil itu adalah potongan kayu terakhir yang dipegang pendekar pedang muda itu di laut, maka apa yang dikatakan Ning Que akan menjadi spindrift terakhir yang akan menghanyutkan kayu itu.

Pendekar pedang muda itu melirik Ning Que dan melepaskan pohon kecil yang dipegang erat di tangan kanannya setelah berhenti sejenak. Dia menghela nafas untuk duduk kembali dan menundukkan kepalanya, dengan sedih dan sedih.

…

…

Orang kedua Ning Que bertemu di jalan gunung adalah seorang biarawan muda.

Bhikkhu muda itu, yang berjalan daripada memanjat, tidak begitu malu seperti pendekar pedang itu. Dia samar-samar tersenyum dengan jubah compang-camping terbang di angin, yang mengungkapkan rasa abadi, saat berjalan turun dari jalan gunung.

Di kaki gunung, Ning Que sudah tahu bahwa keadaan biksu muda itu cukup tinggi, dan bahwa ia setara dengan, jika tidak lebih baik daripada, Pangeran Long Qing. Jelas bahwa biksu itu masih memiliki kekuatan yang tersisa sekarang, dan Ning Que tidak bisa mengerti mengapa orang ini akan menyerah.

“Kamu tidak melanjutkan?” Ning Que bertanya.

Biksu muda itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berkata, “Kabutnya tidak bagus, jadi aku akan menyerah.”

Setelah menyelesaikan kata-kata ini, biarawan muda itu mengawasi darah yang meninggalkan wajah dan tubuh Ning Que. Dia kemudian bertanya, dengan alisnya sedikit berkerut dan senyumnya menghilang, “Mengapa kamu begitu malu?”

“Saya juga ingin bertanya mengapa Anda tidak malu,” jawab Ning Que.

Biksu muda itu tiba-tiba berkata, diam-diam menatap Ning Que, “Tiba-tiba aku merasa bahwa kamu mungkin mengancamku di masa depan, dan aku ingin membuatmu terbunuh sebelum kamu menjadi cukup kuat.”

Ning Que menggelengkan kepalanya, menunjuk ke ujung jalan gunung, dan berkata, “Ada Akademi, dan inilah gunung belakang, Anda tidak berani membunuh saya. Selain itu, terima kasih sudah mengatakannya padaku. Aku akan berusaha keras untuk membunuhmu dulu jika masih ada kesempatan untuk bertemu denganmu lain kali. ”

“Ingin membunuh yang lain? Haruskah kita saling memberi tahu nama kita? ” Biksu muda itu dengan tersenyum berkata, “Namaku Tao Enlightenment, dari Wilderness.”

Ning tertawa dan menjawab, “Saya pikir Anda adalah seorang biarawan dari Kerajaan Yuelun. Saya masih memiliki pertanyaan yang sudah lama mengganggu saya, tetapi sepertinya tidak mungkin untuk menanyakannya sekarang. ”

Tao Enlightenment tersenyum dan bertanya, “Namamu?”

Ning Que merapikan pakaiannya, dan dengan sungguh-sungguh berkata, menyapanya dengan busur dengan tangan terlipat di depan, “Aku dari Akademi, Zhong Dajun.”

…

…

Tak lama setelah melewati biksu muda itu, Ning Que bertemu dengan lelaki ketiga di tepi jalan gunung, seorang siswa Akademi muda bernama Wang Ying, yang jatuh dalam keadaan koma.

Ning Que memegang segenggam air dari sisi jalan dan menuangkannya ke wajah Wang Ying, lalu melihat kembali ke jalan, berpikir bahwa biksu itu pasti telah melihat anak yang tidak sadarkan diri ini, namun tidak tinggal untuk membantunya. Jadi dia benar-benar tidak memiliki belas kasihan, maka apa yang dia katakan tentang membunuh mungkin benar.

Di antara enam siswa dari kursus keterampilan sulap, selain Xie Chengyun, hanya Linchuan Wang Ying yang masih bersikeras memanjat di jalan, tetapi pada akhirnya, anak itu tidak bisa bertahan terlalu lama. Ning Que melirik wajah memerah Wang Ying, tahu bahwa pingsannya disebabkan oleh pikiran yang ketakutan. Meskipun dia tahu cara menanganinya, dia benar-benar tidak punya energi atau waktu untuk memetik tanaman obat di lembah.

Dia berdiri dan berteriak ke kaki gunung, “Di mana empat pengangkut barang?”

Setelah itu, suara getaran pakaian terdengar di hutan, di mana keempat diakon perpustakaan lama berlari ke arahnya sambil membawa tandu sederhana. Mereka melihat Wang Ying, yang tidak sadarkan diri, dan menjelaskan kepada Ning Que, “Kami sedang istirahat sekarang, jadi kami tidak menemukannya.

“Selain itu, kita adalah diaken perpustakaan, bukan penjaga pintu.” Orang itu serius menjelaskannya, tapi kemudian menjerit ketakutan ketika dia tiba-tiba melihat wajah Ning Que. “Bagaimana kabarmu lagi!”

Ning Que dengan masam menjawab, “Saya mengatakan itu di kaki gunung.”

Mereka semua adalah kenalan, secara alami melewatkan beberapa penjelasan. Salah satu diaken menepuk dadanya memandang Ning Que, dan berkata dengan ketakutan, “Untungnya, pendakian gunung adalah kesepakatan satu kali. Jika Anda naik gunung saat naik ke atas tahun lalu, Anda, seorang saja, dapat membuat kami lelah? ”

Ning Que tertawa, dan kemudian darah menyembur keluar dari bibirnya, karena lukanya terpengaruh.

“Pendarahan,” seorang diakon dengan ramah mengingatkan.

“Tidak ada yang serius.” Ning Que tanpa sadar menggosok darah dari rahang bawahnya dan dengan aneh melanjutkan. “Bagaimana kamu bisa memasuki jalan gunung?”

“Kami bukan pembudidaya,” jelas diaken itu.

Ning Que berbisik, berpikir dengan penyesalan bahwa jika dia tidak bisa berkultivasi pada hari ini tahun lalu, maka apakah mudah untuk mendaki gunung yang luas dan sulit ini?

“Hentikan angan-angan. Banyak masalah masih terbentang di depan Anda di jalan gunung, ”diakon itu mengingatkan.

Ning Que tertawa, menunjuk Wang Ying. “Anak kecil itu tergantung padamu, aku harus pergi sekarang.”

Setelah menyelesaikan kata terakhir, dia melambaikan tangan ke empat kenalan yang telah menyaksikan kenaikannya, dan terus bergerak maju lagi, meletakkan tangannya di punggung dan menyenandungkan lagu pendek.

“Sombong. Sebenarnya, bukankah dia juga anak kecil? ” Seorang pramugara menggelengkan kepalanya dan berkata dengan emosional, menatap sosok di atas jalan, “Orang itu secara tak terduga dapat berkultivasi, dia tidak tahu keberuntungan macam apa yang telah dia temui.”

Salah satu pelayan berkata sambil tersenyum, “Memikirkan situasi tragisnya di mana dia mencoba naik ke atas setiap hari tahun lalu, saya menganggap bahwa jika seorang anak seperti dia, yang dapat menanggung kesulitan seperti itu, tidak dapat berkultivasi, maka kita dapat mengatakan bahwa Haotian adalah sangat tidak adil.”

Pada saat ini, Wang Ying terbangun setelah penyembuhan sederhana. Dia berbaring di tandu melihat sosok yang kabur itu, dan kemudian secara tidak sadar menggosok matanya, tetapi dia masih tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya setelah mendapatkan pandangan yang lebih baik.

Wang Ying bergumam kaget, menyaksikan sosok yang menghilang, “Ning Que? Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia datang ke sini? He … he … kenapa dia masih bersenandung? ”

Di depan jalan gunung datang sebuah lagu anak-anak tentang benteng perbatasan yang diatur oleh Ning Que. Suaranya sangat serak, tetapi sangat kuat, dengan rasa kekuatan yang keras seperti kehidupan.

“Aku punya pisau, ya, memotong semua rumput di gunung, ah …

Saya punya dua pisau, ya, memotong kepala musuh, ah …

Saya punya tiga pisau, ya, memotong semua hal buruk, ah …

Aku meretasmu dengan satu pisau, ah …

Aku meretasmu dengan dua pisau, ah …

Aku meretasmu dengan masing-masing pisau, ah … ”

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–