Nightfall Chapter 156

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 156: Menembus Barrier

Penerjemah: TransN Editor: TransN

Saat ia berjalan ke kabut di sisi gunung, Ning Que mendengar deru kuda yang tiba-tiba berlari tanpa lelah seperti hujan di belakangnya!

Bersamaan dengan derapnya, kenangan menakutkan yang tersimpan jauh di dalam hatinya selama bertahun-tahun tiba-tiba menangkapnya kembali, yang kemudian secara tak terkendali menggenangnya dan menduduki seluruh tubuhnya dalam sekejap, membuatnya sangat kaku.

Dia menggigit lidahnya untuk menghilangkan rasa takut dengan kemauan yang sangat kuat, kemudian perlahan berbalik untuk melihat orang-orang di belakangnya.

Jalan gunung di senja yang lebat entah bagaimana menghilang, dan bahkan awan-awan itu telah pergi ke tempat lain. Apa yang dilihatnya hanyalah sebuah kota megah yang berdiri di antara langit dan bumi, bayangan besarnya memotong jalan resmi ke utara.

Di jalan, sepuluh kavaleri dengan baju besi hitam berlari ke arahnya sama ganasnya dengan guntur. Permukaan jalan resmi beresonansi dengan pendekatan mereka, karena semua pelancong mencari jalan untuk mereka.

Ning Que bersembunyi di balik meja dan kursi sebuah kedai teh, menatap kosong pada para kavaleri yang melintas. Tiba-tiba, dia menyadari bahwa dia jauh lebih pendek daripada kuda-kuda dan penumpang di jalan.

Dia melihat ke bawah untuk menemukan bahwa hanya satu sepatu kecil di kakinya, dan dia tidak menyadari sampai sekarang bahwa kaki kirinya telah tertusuk oleh batu dan berdarah.

…

…

Setelah meninggalkan Kota Chang’an, dia pergi ke utara sepanjang jalan, berjalan bersama karavan dengan linglung. Setelah ditanyai beberapa kali oleh orang-orang yang ingin tahu dari Kekaisaran Tang, dia mendapati itu bisa membahayakan dirinya, dan dengan diam-diam meninggalkan para pengelana di bawah naungan kegelapan pada tengah malam.

Dia tidak bertemu dengan binatang buas di alam liar, dan dia bisa mengambil buah untuk memberi makan dirinya sendiri, meskipun kelaparan tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Pada saat dia keluar dari hutan, dia hampir mencapai Provinsi Hebei. Pada saat itu dia sudah menjadi pucat dan kurus, jadi dia tidak perlu khawatir akan dikenali. Di kedua sisi jalan, juga di pegunungan, ada anak-anak yang kelaparan seperti dia.

Hutan belantara menderita kekeringan hebat, dan Provinsi Hebei juga menderita kekeringan parah. Pada tahun pertama era Tianqi, Kerajaan Tang Besar dilanda bencana alam yang langka. Kaisar baru harus menghadapi ujian yang berat ketika naik tahta. Bergegas dari Daze ke kota Chang’an, Yang Mulia segera mengatur persediaan bantuan untuk orang-orang di daerah bencana. Pengungsi dari Wilderness telah memasuki Provinsi Hebei, dan mereka yang berasal dari Provinsi Hebei melanjutkan ke selatan. Mereka yang berangkat lebih dulu untungnya dibebaskan oleh pengadilan kekaisaran, namun yang tersisa di Provinsi Hebei yang tinggal di sekitar Gunung Min yang luas harus menghadapi ujian yang lebih berat.

Di sepanjang jalan resmi, baik pejabat kekaisaran dan pelari pemerintah setempat menghitung jumlah pengungsi untuk mendistribusikan bubur. Semakin banyak pengungsi bermigrasi dari utara ke selatan. Bagi orang-orang pada waktu itu, utara seperti dunia bawah, dunia penyakit dan kelaparan yang mengerikan.

Sementara sisanya semua bergerak ke selatan, Ning Que melanjutkan, dengan arah yang berlawanan, ke Provinsi Hebei. Dia kira-kira berjalan di sepanjang jalan di kaki Gunung Min, di mana dia segera menemukan pencuri yang bermaksud buruk. Dia menyembunyikan dirinya di rumput untuk menghindari ketahuan. Ketika berada di rerumputan, ia menemukan beberapa mayat sedingin es tersebar di sekelilingnya.

Di daerah berhutan kecil di mana hampir semua kulit kayu telah dilucuti, ia dikelilingi oleh sekelompok pengungsi kurus. Menilai dari pakaian mereka, Ning Que menilai bahwa mereka berasal dari utara Kerajaan Yan. Mereka secara alami telah terbang ke wilayah Kaisar Tang, karena bangsawan Kerajaan Yan tidak mampu membayar pekerjaan bantuan.

“Sayangnya, ini hanya anak kecil, beratnya hanya beberapa kilogram.”

Para pengungsi yang kelaparan itu menatap bocah lelaki berlumpur itu. Mata kepala mereka bersinar hijau, tampak seperti serigala yang Ning Que menjadi cukup akrab nanti. Tetapi serigala ini adalah kurus, yang bulunya sangat bernanah.

“Kami tidak memiliki kekuatan apa pun sekarang, kamu sebaiknya melepas pakaianmu sendiri, dan kemudian melompat ke panci.”

Kepala memasukkan jarinya ke mulut, seolah ingin mencicipi daging. Dia memandang bocah itu tanpa kehidupan dan berkata, “Hati-hati saat kamu melompat, jangan terlalu banyak menumpahkan air. Di tahun seperti itu, tidak ada yang punya energi ekstra untuk memotong kayu bakar dan merebus air. ”

Tujuh atau delapan pengungsi kelaparan di sekitar bocah itu perlahan mengangguk. Mereka tidak lebih dari kerangka, nyaris tidak bisa bergerak.

Ning Que memandang mereka dan berkata, “Kamu tidak memiliki kekuatan, tapi aku punya.”

Kepala sekolah tertawa, yang terdengar seperti tangisan. Dia mengarahkan jari-jarinya yang layu dengan gemetar ke wajah anak kecil itu dan berkata, “Jika kamu masih memiliki kekuatan, mengapa tidak melarikan diri?”

Ning Que tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengambil helikopter, yang telah menemaninya di sepanjang jalan, dari belakang pinggangnya. Mengkonsentrasikan semua kekuatannya yang telah dia kumpulkan dengan memakan buah, rumput liar, serta segenggam nasi yang ditawarkan oleh orang-orang yang bermaksud baik, dia melompat dan menebang lurus ke arah hidung kepala.

Dia terlalu muda, terlalu pendek dan terlalu lemah untuk melompat cukup tinggi. Tetapi orang-orang yang kelaparan di hutan telah kekurangan makanan selama berhari-hari dan telah menggunakan semua kekuatan mereka. Mereka tidak bisa melakukan lebih dari sekadar menatap cangkangnya.

Engah! Bocah itu kehilangan sasarannya. Helikopter, yang ia maksudkan untuk memotong hidung kepala, sebenarnya menusuk ke tulang di atas mata musuhnya. Karena kepala kelaparan pada kerangka kurus, kerangka tengkoraknya cukup jelas. Oleh karena itu, adegan helikopter yang menusuk tulangnya jelas dan suara yang dihasilkan juga jelas. Pisau berkarat helikopter langsung menembus bola matanya dan masuk jauh ke otaknya.

Tanpa bunyi dengungan, sang kepala dengan kaku menjatuhkan diri ke tanah seperti sepotong kayu.

Ning Qi berjalan ke depan sambil terengah-engah. Dia menginjak leher kepala. Lalu ia mengerahkan kekuatannya untuk mengeluarkan helikopter, bersamaan dengan semburan cairan kuning kebiruan melayang ke udara. Itu bukan darah.

Dia menatap bola mata keriput yang tergantung di helikopter untuk waktu yang lama. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan mengalihkan pandangannya ke para pengungsi yang kelaparan di sekelilingnya, berkata, “Jika kamu ingin memakan seorang pria, maka makanlah dirimu sendiri, karena aku tidak akan membiarkan kamu memakanku. ”

…

…

Kabut yang melayang di sekitar lereng gunung di belakang Akademi menjadi semakin berat, yang bahkan melahap jejak senja terakhir dari dunia luar. Suara burung-burung malam yang aneh, mungkin burung gagak atau sesuatu yang lebih menyeramkan, terdengar dari tempat lain di hutan.

Ning Que memanjat menanjak di sepanjang Jalur Gunung miring. Setiap kali dia mengambil langkah baru, tubuhnya akan menjadi kaku untuk waktu yang lama. Sudah lama sejak dia memasuki kabut dan dia telah mengatasi seribu langkah, namun masih tidak tahu seberapa jauh dari puncak gunung.

Melihat dari dekat, Anda dapat menemukan matanya kosong dan tidak fokus. Tampaknya dia tidak melihat jalan di bawah kakinya, tetapi sesuatu di kejauhan. Sesuatu yang telah terjadi sejak lama.

…

…

Dia pergi jauh-jauh ke utara dan memasuki tanah-belakang Provinsi Hebei di sepanjang Gunung Min. Lapangan itu benar-benar ditempati oleh para pengungsi kelaparan dari Alam Bebas dan utara Kerajaan Yan. Namun, karena kekeringan yang bertahan lama, orang-orang mulai menukar anak-anak mereka untuk makan. Namun, meski begitu, sebagian besar dari orang-orang yang kelaparan telah menjadi mayat di sisi jalan atau makanan di perut binatang buas di Gunung Min. Dengan kematian mereka, jalur Ning Que melalui pegunungan menjadi lebih aman.

Lalu suatu hari, hujan yang telah lama diperkirakan jatuh dari langit. Dari gudang bawah tanah di negara itu, penduduk desa merangkak keluar dan berlutut di air hujan, menangis dan bersujud dengan kowtow untuk menunjukkan terima kasih mereka kepada kemurahan hati Haotian. Bahkan lebih tidak memiliki kekuatan untuk menunjukkan emosi apa pun untuk kelaparan parah.

Di tengah hujan lebat, Ning Que duduk di bawah pohon kecil di samping gunung, kosong melihat sekeliling, tidak tahu harus ke mana.

Hari-hari ini, banyak pengungsi telah berkelana ke Gunung Min yang luas, berharap dapat menemukan sesuatu untuk dimakan meskipun banyak binatang buas. Namun Ning Que tidak mengikuti tren karena dia tahu dia terlalu lemah saat ini untuk membunuh binatang buas yang mengerikan di gunung, meskipun dia masih bisa membunuh pengungsi samar dengan kekuatan penuh.

Dia menggigit dendeng sapi yang telah diambilnya dan merobek beberapa irisan daging parut. Dia kemudian mengangkat kepalanya untuk mengambil beberapa suapan air hujan, yang dikunyah bersama dengan daging dan ditelan ke perutnya, tanpa ekspresi kenikmatan. Siksaan yang tidak pernah berakhir selama beberapa hari ini telah mengubah bocah putih dan lembut dari Rumah Jenderal menjadi sangat kotor dan kurus. Kulit bibir anak laki-laki itu sangat pecah-pecah, dan darah keluar dari giginya dari waktu ke waktu ketika dia mengunyah daging.

Hujan semakin lebat. Dia memeriksa helikopter di belakangnya dan, mengambil tongkat di sampingnya, dia terus ke utara di sepanjang jalan di kaki gunung. Dia memastikan dia bisa melarikan diri ke Gunung Min kapan saja. Karena dia tahu bahwa curah hujan akan membantu orang lain untuk hidup kembali, dan jika demikian, orang dewasa yang dihidupkan kembali akan lebih sehat dari sebelumnya. Mereka bisa menjadi musuhnya sekali lagi kapan saja.

Tumpukan mayat bisa ditemukan di sepanjang jalan di depan, yang sudah membusuk dan memenuhi udara dengan bau busuk sekali direndam dalam air hujan. Beberapa anjing liar yang sama kurusnya berjongkok di samping orang mati dan memakannya. Satu menggigit lengan dengan tulang kosong, berjuang untuk menariknya kembali dan kadang-kadang membuat merengek, sementara yang lain duduk di kaki belakangnya seperti apa yang dilakukan manusia, berusaha untuk menggigit paha tipis dan busuk yang dipegang di dua bagian depannya. cakar.

Mendengar langkah kaki Ning Que, anjing-anjing liar itu berhenti makan dan melihat ke atas dengan waspada. Mereka menatap bocah laki-laki di jalan, mengeluarkan teriakan rendah dan menakutkan. Dua dari mereka memutuskan bahwa bocah lelaki kurus tidak akan menjadi ancaman bagi mereka, sehingga mereka bahkan meninggalkan mayat busuk yang tidak bermoral dan mulai mendekati Ning Que.

Mendukung dirinya terhadap tongkat kayu di tangannya, Ning Que melepas helikopter dari belakang pinggangnya, setengah menurunkan tubuhnya, dan menunjukkan giginya yang sedikit bengkak dan berdarah. Dia meraung pada dua anjing liar seperti orang biadab.

Mungkin merasakan bau darah pada bocah kecil ini dan dikagetkan oleh rasa bahaya yang berasal dari bocah itu, yang tidak sebanding dengan sosok mungilnya, anjing-anjing liar itu mundur dengan mencicit dan bertebaran di sekitar tumpukan kematian, menunggu dia lulus sebelum melanjutkan makan mereka.

Terinduksi oleh mayat-mayat yang membusuk di samping jalan, anjing-anjing rumah yang seharusnya milik panti jompo telah berubah menjadi anjing-anjing liar yang mencari makanan busuk. Ning Que sudah terbiasa dengan adegan seperti ini di sepanjang jalan dan mati rasa berubah tanpa perasaan. Dia memutuskan untuk segera pergi, atau dia akan menjadi penduduk lain di antara mayat busuk ini jika dia benar-benar bergumul dengan mereka.

Saat dia akan pergi, dia mendengar suara yang sangat sedikit.

Dia melihat kembali ke mayat-mayat yang tenggelam dalam hujan untuk tidak menemukan apa pun. Jadi dia sudah siap untuk pergi lagi.

Tepat pada saat dia akan pergi untuk kedua kalinya, suara yang sangat kecil terdengar lagi, dan kali ini, sangat jelas.

Itu adalah suara tangisan.

Dia kembali ke tumpukan mayat, berteriak, menjerit, dan melambaikan tongkat kayu dan helikopternya, berharap anjing-anjing liar itu bisa ketakutan. Lalu ia memotong paha yang membusuk dengan helikopter dan melemparkannya jauh ke ladang kering yang baru saja direndam dalam air.

Membuat beberapa rengekan, anjing-anjing liar berlari ke paha busuk dan mulai berjuang untuk itu, sementara mengabaikannya.

Setelah samar-samar menangis dari bawah tumpukan mayat, Ning Que mulai menyisihkan mayat-mayat dari atas tumpukan. Dia benar-benar tidak memiliki banyak kekuatan pada saat itu, tetapi untungnya, orang mati telah mati karena kelaparan dan sudah seperti kerangka berjalan sebelum kematian mereka. Terlebih lagi, sebagian besar organ dalam mereka terurai menjadi air dan uap, jadi tidak begitu sulit untuk memindahkannya.

Di mana-mana ia menyentuh lembab dan licin, seperti lumpur yang disajikan sebagai makanan di Kota Chang’an selama Festival Musim Semi. Ning Que mencabut daging busuk dari tangannya dan terus menggerakkan mayat-mayat itu sampai akhirnya dia menemukan sumber dari tangisan samar itu.

Dia membalikkan mayat setengah membungkuk di ladang yang mengenakan pakaian pelayan, lalu melihat seorang bayi kecil yang dibasahi air hujan dan cairan dari mayat. Bayi itu pucat dan lemah dengan bibir dan mata birunya yang tertutup, dan tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana dia bisa selamat dan menangis.

Menggosok daging busuk ke celananya, Ning Que dengan hati-hati mengambil bayi itu, menatapnya lama dan kemudian memecah kesunyian, “Kamu tidak ingin aku pergi, jadi itu sebabnya kamu menangis?”

Menggendong bayi itu, dia melompat dari tumpukan mayat dan berjalan di sepanjang jalan ke kejauhan. Anjing-anjing liar, yang telah menatapnya dengan mata hijau mereka untuk waktu yang lama, mengeluarkan rengekan senang saat melihat dia pergi. Mereka berlari kembali ke tumpukan bangkai dan, sesaat kemudian, terdengar suara merobek dan mengunyah.

Tanpa peringatan apa pun, hujan mulai turun lagi.

Ning Que melirik Gunung Min di kejauhan dan kemudian menatap bayi pucat itu. Dia berpikir, “Jika kamu terus basah kuyup dalam hujan seperti ini, aku khawatir kamu tidak akan pernah bisa menangis lagi.” Jadi dia bermaksud mencari sesuatu untuk melindungi diri dari hujan. Saat itulah dia melihat payung hitam di pinggir jalan.

Payung hitam itu sangat tua dan sangat kotor.

…

…

Jalur gunung masih diselimuti kabut.

Ning Que sedikit menunduk. Berdiri di tangga batu yang curam, dia tidak bisa bergerak maju.

…

…

Jagoan! Sebuah panah berbulu akurat mengenai kelinci abu-abu.

Ning Que bergegas ke kelinci dalam sekejap dan dengan senang hati mengambilnya. Dengan kedua tangan bersilang, ia langsung memutar leher kelinci dan melemparkannya ke dalam tas di belakangnya, yang berat dan sarat dengan tubuh mangsanya.

Sambil berjongkok di bawah pohon, ia mengendus-endus lalu menarik kudzu di belakang pohon, tempat jalan terjal ditemukan. Lalu dia memanjat di sepanjang jalan menuju tebing, di mana ada padang rumput di dekat mata air. Di padang rumput, ia melihat pencapaian terbesarnya dalam tiga hari terakhir dengan sangat puas.

Seekor domba biru jatuh ke tanah, menjerit kesakitan. Di sampingnya, dua anak domba tak berdaya menatapnya ketika mereka menggunakan kepala mereka untuk menggosok mulut dan hidungnya dari waktu ke waktu, tidak tahu apakah mereka bermaksud memberinya keberanian dan kepercayaan diri, atau untuk menghibur anak kesayangan mereka sebelum kematiannya.

Ning Que diam-diam berjalan, mengambil ujung tali dari rumput, dan dengan keras menariknya. Perangkap yang tersembunyi di rumput tiba-tiba diperketat dan kedua domba itu jatuh ke tanah dengan teriakan, kuku mereka terikat erat.

Domba biru besar, yang kaki belakangnya terperangkap dalam perangkap, dengan susah payah berjuang untuk bergerak, melihat pemandangan domba-domba yang terperangkap dan mengembik dengan cemas.

“Nasibmu bagus, setidaknya ada seseorang yang mengkhawatirkanmu.”

Ning Que pergi ke perangkap binatang dan menggelengkan kepalanya saat melihat dua domba berbaring di rumput. Lalu dia mengeluarkan pisau dari belakang pinggangnya, langsung menusuknya ke leher domba biru besar.

…

…

“Aku kembali.”

Menyeret mayat domba biru, membawa tas berat dan memimpin dua domba, Ning Que kembali ke pondok perburuan lusuh di antara pohon-pohon.

Seorang gadis kecil berlari untuk menyambutnya. Dia berusia sekitar empat atau lima tahun dengan kulit gelap, mengenakan pakaian kulit.

Pondok berburu sangat lusuh dengan cahaya redup, dan Pemburu Tua yang duduk di samping anglo tembaga meletakkan batang tembakau, menatap tanpa emosi pada Ning Que, dan meludahkan gumpalan dahak yang tebal di tanah sebelum bertanya, “Bagaimana dengan panen hari ini ? ”

“Baik.” Ning Que menjawab.

Wajah Pemburu Tua itu penuh keriput, yang darinya Anda tidak pernah bisa mengharapkan sedikit pun cinta atau kebaikan, tetapi hanya keserakahan dan kedinginan.

“Mari makan.”

Si Pemburu Tua mengambil sepotong daging untuk dimakan dan merasa ada yang tidak beres dengan rasanya, jadi dia berteriak dengan menyalahgunakan, “Kamu hal jahat! Saya bilang kurang garam! Garam sangat mahal! Siapa yang memberimu uang? Kamu jahat sekali! Memberi makan Anda hanya membuang-buang uang saya. Saya akan membesarkan Anda selama dua tahun lagi, dan kemudian menjual Anda kepada pelacur untuk mendapatkan uang! ”

Dengan kepala menunduk, gadis kecil itu penuh panik. Ning Que juga menunduk, melihat bubur kentang berair manis, tempat penglihatannya terlihat. Dari matanya, orang bisa melihat api seperti bintang terbakar.

Dia telah mendengarkan omelan semacam ini selama bertahun-tahun. Dia telah mengalami perawatan ini di mana Pemburu Tua makan daging, sementara dia dan Sangsang bahkan tidak bisa minum kaldu sisa selama bertahun-tahun. Dia pikir dia sudah terbiasa dengan itu, namun sepertinya dia tidak bisa lagi menahannya.

Sangsang kecil memegang mangkuk bubur dengan dua tangan kecilnya, lengan kurusnya agak bergetar, dan tiba-tiba ia mulai batuk.

Ning Que mengulurkan tangannya untuk memegang mangkuk untuknya.

Si Pemburu Tua minum arwah, dan berkata di atas anggur, “Kamu masuk akal. Jika mangkuk itu pecah, lihat saja bagaimana aku akan menanganinya. ”

Melihat sekilas mangkuk berisi daging di depan Old Hunter, Ning Que berdiri ke arahnya dan membujuk dengan tulus, “Kakek, Sangsang sakit lagi tadi malam. Bagaimana kalau memberinya sepotong daging? ”

Pemburu Tua menampar kepala Ning Que, memelototinya, dan mengutuk, “Mangsa untukmu makan? Ini digunakan untuk menukar uang dan garam! Anda pikir saya memperlakukan Anda dengan buruk, lalu pergi! Jika Anda dapat menangkap seekor harimau dan menggunakan tulang-tulang harimau untuk membayar kembali uang yang saya gunakan untuk membesarkan Anda selama bertahun-tahun ini, maka saya akan membiarkan Anda pergi! Saya menghabiskan banyak uang untuk jebakan baja itu, namun Anda tidak berguna! ”

Ning Que mundur tanpa kata.

Setelah minum, Pemburu Tua pergi untuk melihat mangsa yang dibawa Ning Que hari ini.

Beberapa saat kemudian, dia dengan marah datang dengan cambuk, lalu mulai mencambuk Ning Que, memarahi, “Kamu anak yang hilang! Saya telah mengajar Anda berkali-kali! Mangsa besar harus dibantai kembali ke sini! Siapa yang menyuruhmu membunuhnya di luar? ”

Wajah Ning Que penuh dengan noda darah, namun dia tidak menghindari atau menghindari, karena dia jelas bahwa itu tidak ada artinya untuk melakukannya. Dia hanya menundukkan kepalanya dan menjelaskan, “Domba biru itu terlalu berat, aku tidak bisa menariknya kembali jika aku tidak membunuhnya terlebih dahulu. Ngomong-ngomong, aku berhati-hati saat membunuhnya, dan kamu masih bisa mendapatkan seluruh kulitnya. ”

“Kamu tidak bisa menariknya kembali? Lalu apa gunanya kamu? ”

Pemburu Tua itu memukulinya dengan geram, menggeram, “Kamu hanya tahu kulitnya, tetapi darahnya juga bisa menghasilkan uang! Kamu keparat!”

“Bajingan!”

Si Pemburu Tua berjalan keluar dari pondok berburu dengan marah.

Ning Que memandang Sangsang, yang memegang mangkuk bubur dengan kepala menunduk, dan menyeka darah dari wajahnya. Lalu dia tersenyum padanya, berkata, “Itu bagus. Jangan coba-coba menghalangi cambuk untukku, kalau tidak hal lama itu akan mengalahkanku lebih penuh semangat. ”

Sambil memegang mangkuk besar itu, Sangsang dengan kuat menganggukkan kepalanya.

“Gadis jahat! Pergi dan siapkan air mandinya! ”

Penyalahgunaan Pemburu Tua yang tidak puas datang dari luar pondok. Tidak ada yang tahu apa yang telah membangkitkan semua kebenciannya.

Sangsang menatap gugup pada Ning Que.

Ning Que sibuk makan daging yang lupa disembunyikan Pemburu Tua. Kemudian, setelah hening sejenak, dia mengangguk.

…

…

Bagian dalam dan luar Gunung Min yang luas adalah dunia yang sama sekali berbeda.

Di luar gunung, itu sudah menjadi tahun kelima era Tianqi dari Kekaisaran Tang, sedangkan bagi mereka yang tinggal di dalam gunung, hari-hari hanyalah pengulangan monoton hari demi hari. Adapun Pemburu Tua yang telah mempertahankan Ning Que dan Sangsang, ia akhirnya menemukan cara untuk membunuh waktu di dunia yang monoton ini — mencambuk, menyalahgunakan dan sejenisnya.

Tahun itu, Ning Que sudah berusia sekitar sepuluh tahun.

Tahun itu, Sangsang berusia lima tahun.

…

…

Sangsang menuangkan air panas ke dalam ember, yang segera diselimuti uap panas.

Pemburu Tua telanjang di ember menatapnya dan memarahi, “Sialan kamu! Kamu sangat kotor, pergi dan cuci sendiri. ”

Sangsang mengangguk, lalu berjalan keluar ruangan. Kemudian dia menyeret dirinya kembali setelah mengambil baskom berisi air panas dari Ning Que.

Air panas mendidih, dan sangat panas.

Sangsang melangkah ke bangku, menuangkannya ke Old Hunter dari kepalanya hingga kakinya.

Teriakan yang sangat menyedihkan terdengar di dalam ruangan.

Pemburu tua itu berlari keluar, telanjang, dengan lecet di sekujur tubuhnya. Dia menyipit, karena penglihatannya kabur, saat dia dengan gila-gilaan melambaikan pisau berburu di tangannya, mengutuk kata-kata paling kejam yang dia tahu.

Bang! Terdengar suara dua klem logam yang keras dan saling memukul satu sama lain, setelah itu si Pemburu Tua membalik, mengucapkan teriakan yang bahkan lebih menyedihkan.

Kaki kanannya terperangkap dalam perangkap binatang stainless steel yang digunakan untuk berburu harimau dan setengah patah.

Ning Que dan Sangsang datang, melihat Old Hunter berbaring di genangan darahnya sendiri.

Bahkan dalam situasi seperti itu, Pemburu Tua masih mempertahankan kekejaman dari orang-orang gunung, menatap Ning Que dan memarahinya meskipun dia sekarat, “Dasar bocah! Anda hal yang tidak tahu berterima kasih! Sialan Anda!”

“Yah, kami telah membayarmu selama bertahun-tahun, dan sekarang saatnya untuk membalas dendam.”

Ning Que mengeluarkan pisau berburu dari belakangnya, melihat daging Pemburu Tua yang membungkuk serta akar pahanya yang berdarah, dan kemudian berkata, “Aku bisa menahanmu selama dua hari lagi, namun kau tidak melakukannya.” beri aku kesempatan. ”

“Jika kamu tidak berjanji untuk menjual Sangsang kepada pelacur, kami tidak akan membunuhmu.”

“Jika kamu tidak pergi mandi, kami tidak mungkin membunuhmu.”

Ning Que menatapnya dan, setelah lama diam, dia melanjutkan, “Faktanya, sekarang … jika Anda membiarkan Sangsang makan dagingnya, mungkin kami tidak akan membunuhmu. Kami hanya berencana untuk menyelinap pergi. ”

Si Pemburu Tua terengah-engah, menatapnya kosong.

Kemudian Ning Que mengepalkan pisau berburu dan dengan tegas memotongnya.

Kepala Pemburu Tua jatuh.

Setelah beberapa saat, Ning Que berjalan keluar dari pondok berburu, haluan kotak dan bergetar di punggungnya, pisau berburu di pinggangnya sedikit berayun.

Sangsang mengikutinya, memegang payung hitam besar yang sudah usang.

“Jika kamu lelah, maka naik ke punggungku.”

Kemudian keduanya menghilang ke Gunung Min yang luas.

…

…

Malam telah tiba, kabut tebal di gunung di belakang Akademi sehalus dan setebal susu.

Ning Que berdiri di tangga batu, dengan kepala menunduk. Setelah lama diam, ia perlahan mengangkat tangannya.

Dia mengepalkan tangannya untuk membuat kepalan kosong, seolah dia memegang pisau yang tak terlihat.

Angin malam berembus di sekitar jalur gunung.

Dia sedikit miring dan tiba-tiba ditebang, yang menembus malam serta kabut di jalur gunung.

Setelah dipotong, langkah lain muncul.

Keheningan total ditemukan dalam kabut tebal di sekitar puncak.

Kemudian suara welas asih terdengar, “Saya tidak tahu penderitaan seperti apa yang dialami Ning Que dalam hidupnya, dia juga tidak menyebutkannya di perpustakaan lama. Bagaimana mungkin jalan gunung itu … begitu sulit baginya? ”

“Jalur Gunung membentang tanpa akhir di depan, di mana semua kenangan menyakitkan sebelumnya diubah menjadi kenyataan untuk menghalangi mereka yang mendaki. Jika mereka dapat mengatasinya dengan mudah, akan lebih mudah untuk naik. Tetapi jika tidak, dan dengan demikian ingin mundur, maka puncak tidak akan pernah tercapai. ”

Kata-kata dari Saudara Kedua secara bertahap terdengar. Baru sekarang mereka bisa menemukan sedikit rasa hormat dan keseriusan dalam suaranya.

“Kedua pendaki hari ini menarik, terutama Ning Que.”

“Kenangan menyakitkan di lubuk hatinya, meskipun aku tidak tahu apa itu sebenarnya, adalah hal-hal yang sebenarnya tidak ingin dia lupakan, dan bahkan tidak merasa menyesal. Untuk melihat melalui mereka juga tidak perlu di dalam hatinya. Menghadapi sudut paling gelap di lubuk hatinya, serta pengalaman menyakitkan itu, dia masih memilih jalan yang sama yang dia lakukan bertahun-tahun sebelumnya. ”

“Jika dia tidak bisa melihat melalui mereka, lalu bagaimana dia bisa menjaga hatinya tidak berubah selama bertahun-tahun?”

“Karena dia tidak ingin melihat melalui mereka, maka dia bisa menerobos mereka.”

“Dia ingin mematahkan jalur gunung.”

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–