Nightfall Chapter 363

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 363: Membunuh Diri Sendiri dan Orang Lain Karena Welas Asih & Memarahi dan Menertawakan Buddha Karena Kaki Kecil

Penerjemah: Transn Editor: Transn

Chen Pipi tampak seperti pria gemuk yang tidak berbahaya dan menggemaskan. Tapi sebenarnya, dia adalah pejuang yang luar biasa. Itu sebabnya jika ada sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya sejenak ketika dia bertekad untuk melakukan sesuatu, hal itu pasti sesuatu yang luar biasa.

Ketika seragam Akademi besarnya mulai berkibar tanpa angin, dan ketika dia mengangkat lengan kanannya dan mengarahkan jari-jarinya, biarawan bela diri kurus, yang diam-diam menjaga biarawan setengah baya, muncul di depan jari-jarinya. Wajahnya, yang tampak seperti diukir dari baja, tidak menunjukkan ekspresi.

Keadaan budidaya Chen Pipi sangat tinggi, tetapi biarawan bela diri itu dapat bereaksi lebih cepat, yang berarti bahwa mereka memiliki rencana. Dan dia tahu bahwa biksu setengah baya akan menggunakan keterampilan ilahi yang baik dan kejam dari Sekte Buddha, pengorbanan darah untuk Buddha. Ini berarti bahwa, bahkan jika biksu setengah baya itu tidak menemukan bahwa Ning Que telah bergabung dengan Iblis, dia siap untuk menggunakan metode menaklukkan iblis pada Ning Que untuk melumpuhkannya.

Namun, bahkan jika biksu kurus itu siap dan bisa bereaksi dengan cepat dan bergerak untuk menghentikan jari Chen Pipi, dia tidak bisa benar-benar menghentikan Jari Ajaib Aliran Alam yang berasal dari roh tanpa batas Akademi. Meskipun wajah dan tubuhnya terlihat sekuat baja, itu masihlah daging yang fana.

Biksu bela diri itu tidak ragu-ragu. Dia mengeluarkan pisau tajam dari lengan bajunya dengan kecepatan kilat. Tapi dia tidak menusuk Chen Pipi, sebaliknya, dia menikam perutnya sendiri dengan kejam.

Ada suara merobek, seperti bagaimana kantong kulit penuh air terdengar ketika tertusuk panah. Pisau tajam itu terjepit jauh di perutnya. Wajah biarawan bela diri itu menjadi pucat, tetapi matanya tetap bertekad. Dia tidak ragu-ragu dan menarik pisau ke bawah dan darah mengalir keluar dengan suara memancar.

Usus biksu bela diri mengalir bersama darah dari lubang yang dibuat pisau. Usus memancarkan bau darah serta panas tubuhnya.

Biksu bela diri itu menutupi lukanya dengan tangan kiri dan memeluk ususnya. Dia menatap Chen Pipi dengan kaku, seolah-olah dia tidak bisa merasakan rasa sakit.

Setetes darah jatuh di ujung jari Chen Pipi.

Dia menatap pemandangan di depannya dengan mata lebar, tidak tahu apa yang akan dilakukan biarawan itu.

Chen Pipi belum pernah membunuh siapa pun sebelumnya. Dia bahkan tidak pernah berpartisipasi dalam pertempuran sejati atau melihat pertarungan hidup dan mati dalam pertempuran. Dia belum pernah melihat sesuatu yang begitu berdarah sebelumnya.

Dia hanya bertarung di Winter Courtyard dari Pemerintah Daerah Chang’an dengan Wang Jinglue. Dia menang dengan mudah berkat kondisi kultivasinya yang jauh lebih tinggi.

Chen Pipi selalu berpikir bahwa pertempuran antara pembudidaya semudah dan sesantai itu. Sampai hari ini, ketika biarawan bela diri telah merobek perutnya dan memeluk ususnya, dia baru saja memahami bahwa pertempuran sejati tidak ada hubungannya dengan keadaan, sikap, atau perilaku seseorang. Itu hanya tentang kemenangan dan kekalahan. Hanya hidup dan mati yang penting.

Bhikkhu itu tidak ragu-ragu selama satu detik untuk mengorbankan dirinya untuk mengalihkan perhatiannya dan mengacaukan jiwanya. Semacam roh — layak dihormati atau bahkan merasa takut.

Wajah biarawan bela diri menjadi sangat pucat. Dia menatap Chen Pipi dengan tenang dan berkata dengan suara yang sedikit gemetar, “Aku telah membuka diri. Tolong, Tn. Twelve, hormati aturannya. ”

Kedua biksu dari Kerajaan Yuelun dipersiapkan dengan baik untuk pertemuan mereka di jalan-jalan Chang’an. Mereka jelas tahu sejarah Lantai Dua Akademi, dan tahu bahwa, di tempat itu, peraturan tidak masalah. Itulah sebabnya mereka tidak ragu-ragu mengorbankan hidup mereka untuk menantang aturan mereka untuk tidak mengikuti aturan.

Adegan berdarah di depannya dan usus merah muda di tangan kiri biksu itu adalah pelajaran yang mengejutkan bagi Chen Pipi. Guncangan ini mungkin tidak dapat mengubah pendidikan tentang peraturan yang dia terima di Akademi, tapi itu cukup untuk membuatnya terpana sesaat.

Momen singkat ini sudah lebih dari cukup.

Karena pertempuran antara biksu setengah baya dan Ning Que akan berakhir dalam sedetik.

Biksu setengah baya itu kuat, karena dia bisa menyingkirkan setan dengan menggunakan pikirannya.

Jari-jari Chen Pipi gemetar tertiup angin pagi Chang’an.

Biksu setengah baya fokus pada Ning Que, dan tidak perlu baginya untuk memiliki pertahanan. Dia hanya harus menunjuk padanya, dan itu sudah cukup untuk membunuh Ning Que. Namun, dia tahu bahwa pertempuran telah berakhir, dan Ning Que sudah mati. Jika Adiknya meninggal, apapun yang dia lakukan tidak akan berarti.

Wajah Chen Pipi bergetar dan dia tampak sangat sedih.

Dia memutuskan untuk membunuh dua biarawan di depannya,

meskipun dia sudah menebak bahwa ada sesuatu yang aneh tentang identitas biksu setengah baya itu,

dan meskipun dia belum pernah membunuh siapa pun sebelumnya.

Menurut pendapat Kakak Sulung, Ning Que tidak terlihat seperti seseorang yang memiliki umur pendek, tetapi dia sekarang sudah mati.

Lalu mengapa mereka harus mengikuti aturan dunia ini?

…

…

Hal tercepat di dunia bukanlah kabut atau hujan atau angin, tetapi kilat.

Orang fana sering menggunakan kata kilat untuk menggambarkan jiwa.

Ketika jiwa seseorang bergerak, tidak ada yang bisa menangkapnya.

Itulah sebabnya banyak hal dapat terjadi di dunia spiritual hanya dalam sedetik.

Ketika biksu setengah baya melukis darah di wajahnya dan menggunakan darah untuk memperkuat keterampilan Buddha, banyak gambar yang mengejutkan ditampilkan, dan perubahan terjadi di ruang di mana jiwa Ning Que berada.

Patung Buddha batu setinggi 10 kaki telah berdiri diam. Setelah hujan batu, garis di bawah hidungnya, yang belum terbuka selama seribu tahun, tiba-tiba terbuka, dan kemudian Sang Buddha memiliki mulut.

Dua aliran darah tebal mengalir seperti besi cair dari mulut Buddha batu.

Dua aliran darah tidak menetes ke tanah. Sebaliknya, mereka mengabaikan hukum gravitasi dan melayang ke segala arah. Air berdarah itu secara bertahap menutupi wajah Buddha yang besar itu.

Banyak retakan yang dalam muncul di wajah Sang Buddha, seperti tanah kering yang retak, seolah-olah ditelan darah. Namun, ketika retakan itu direndam dalam darah, mereka lebih mirip luka ribuan orang.

Ada tekanan kuat datang dari batu Buddha, menyebar ke seluruh ruang.

Wajah megah Buddha batu ditutupi dengan banyak luka kecil. Seharusnya terlihat mengerikan ketika direndam dalam darah, tetapi tampaknya lebih berbelas kasihan, seolah-olah cat emas telah terkelupas, hanya meninggalkan perubahan kehidupan.

Darah di atas batu Buddha bertambah tebal dan semakin tebal, demikian pula perasaan duka. Semua emosi negatif yang disebabkan oleh perang, perpisahan, dan kesedihan tampaknya telah diserap oleh wajah Buddha,

meninggalkan dunia yang bersih dan murni.

Kotoran dan batu yang jatuh dari langit dimurnikan dan berubah menjadi bunga lotus suci putih, yang membasuh tubuh Ning Que.

Seekor kelopak bunga diam-diam mendarat di jubah kapasnya. Namun, itu merobek luka di tubuhnya dan darah segar mengalir keluar seperti semangkuk mie parut panas dan pedas.

Ning Que menatap langit dan sedikit mengernyit. Dia memindahkan jiwanya dan menerapkan Roh Hebat di dalam tubuhnya. Itu meledak dari tengah alisnya dan merobek semua kelopak.

Namun, itu penuh bunga. Ada terlalu banyak bunga lotus. Bagaimana dia bisa membuat mereka semua menggantung di udara?

Bunga-bunga lotus mekar, dan kelopak jatuh ke wajah dan tubuhnya. Mereka merobek jubah katunnya dan menggerogoti kulitnya, memotong dagingnya hingga terbuka dan memperlihatkan tulang.

Rasa sakit tak berujung mengalir ke tulang dan darahnya. Dan kemudian, mereka meledak ke arah setiap inci tubuhnya, dan kemudian ke otaknya. Itu mengejutkan perasaan persepsi dan memberinya rasa sakit yang luar biasa.

Pengorbanan darah untuk Buddha adalah seni yang sangat kuat dari Sekte Buddha.

Buddha batu, dengan darah di wajahnya setelah hujan bunga, sebenarnya mewakili pengabdian diri pada agama Buddha.

Mendedikasikan diri untuk agama Buddha dan untuk sementara menciptakan tanah teratai yang murni, membersihkannya dari setan dan kejahatan — ini berarti melampaui ruang lingkup ritual Buddhis biasa dan merupakan tindakan keajaiban di dunia supermundane.

Hanya para murid dengan ketekunan, tekad, belas kasihan, dan kejahatan yang besar yang bisa memasuki kondisi ini.

Bahkan Chen Pipi, yang telah memasuki Negara Takdir Tahu, akan mendapat masalah besar jika dia terjebak di tanah teratai murni ini oleh Bhadanta dari Sekte Buddha, jadi dia harus memperlakukan ini dengan hati-hati.

Dan Ning Que hanya memasuki Negara Seethrough di Danau Daming.

Pada kultivasi dan kondisi emosinya saat ini, ia tidak akan bisa lepas dari langit yang dipenuhi bunga lotus.

…

…

Hujan bunga lotus mengungkapkan niat yang jelas untuk membunuh.

Ning Que menatap Buddha batu di kejauhan melalui tirai darah yang menetes dari bulu matanya. Dia bertanya setelah hening sejenak, “Kamu telah merencanakan untuk membunuhku sejak kita mulai. Itu tidak ada hubungannya dengan saya yang mewakili Akademi untuk memasuki Dunia Manusia, dan tidak ada hubungannya dengan Anda mengetahui bahwa saya telah bergabung dengan Iblis di Hutan Belantara. Kamu hanya ingin membunuhku. Saya tidak mengerti, bahkan jika Anda benar-benar makhluk luar biasa dari Kuil Xuankong, bisakah Anda benar-benar menanggung akibat membunuh saya? ”

Buddha batu raksasa tampaknya tersenyum bahagia dan menangis sedih bersamaan dengan darah menetes dari mulutnya. Dia tidak menjawab Ning Que, tetapi hanya diam.

“Ini adalah duel yang terjadi di Chang’an. Aku membunuhmu dalam duel yang adil. Tidak akan ada masalah. Semua Tang prihatin dengan reputasi mereka, dan Akademi bahkan lebih dari itu. Mereka tidak akan berani membuat marah Yuelun, apalagi Sekte Buddha. Sebaliknya, mereka akan tetap diam untuk menyelamatkan reputasi mereka. ”

Suara biksu setengah baya terdengar dari hujan bunga.

“Lebih jauh, aku sudah memastikan bahwa Tuan Tiga Belas, kamu telah bergabung dengan Iblis.”

Ning Que, yang berlumuran darah, melihat ke arah dari mana suara itu berasal dan bertanya dengan kasar, “Kamu siap untuk membunuhku sebelum kamu tahu bahwa aku telah bergabung dengan Iblis. Mengapa? Apa yang telah saya lakukan pada Sekte Buddhis untuk membuat marah mereka bahwa seorang Bhadanta seperti Anda akan bersumpah untuk pergi ke Chang’an untuk membunuhku? ”

“Aku sudah mengatakan, ‘Kamu menghina Bibi di Hutan Belantara. Anda telah menghina Kerajaan Yuelun dan Sekte Buddhis ‘. ”

Ning Que berkata dengan sinis, “Dulu saya berpikir bahwa sebagian besar orang di bumi adalah idiot. Saya tidak berharap seseorang memperlakukan saya seperti orang idiot. Bagaimana perempuan tua itu, Quni Madi, menjadi alasan yang tepat bagi Sekte Buddhis untuk menyinggung Kekaisaran Tang dan Akademi? ”

Biksu paruh baya itu berkata dengan tenang dan tegas, “Tentu saja ada alasan lain. Tetapi Anda telah dikutuk sejak Anda menghina Bibi di Alam Bebas. ”

Ning Que menyeka darah dari wajahnya. Ketika lengan bajunya menggosok-gosok gouge mendalam yang dibuat oleh bunga lotus, dia merasakan sakit menyengat yang tak tertahankan, tetapi dia tersenyum.

“Apakah kamu benar-benar berpikir bahwa nama keluargamu adalah Yang?”

Ning Que tertawa lepas. Dia memandangi batu Buddha di luar hujan bunga. Dia mengusap air mata dan darahnya dan berkata sambil tertawa, “Jika semua ini ternyata menjadi drama romantis, aku akan sangat kecewa.”

“Ada banyak hal di dunia yang tidak kamu ketahui.”

“Jika demikian, dapatkah Anda memberi tahu saya?”

“Tidak. Kamu telah bergabung dengan Iblis, jadi yang harus aku lakukan adalah membunuhmu. ”

Suara biksu setengah baya terdengar sangat halus di tengah hujan bunga lotus, dan kemudian berubah menjadi kebingungan.

“Dua generasi murid Akademi yang memasuki Dunia Manusia telah bergabung dengan Iblis satu demi satu. Mungkinkah ini kehendak Haotian, atau bagaimana nasib bekerja? ”

Ning Que tidak melihat keraguan yang tersembunyi dalam suara biksu setengah baya di luar hujan bunga.

Dia fokus pada hujan lotus.

Dia melihat kelopak bunga teratai yang jatuh di depannya dan mengingat mimpi yang sudah lama dia miliki. Dia memikirkan kaki putih Sangsang yang pucat dan malam-malam yang tak terhitung jumlahnya bahwa dia telah ditendang oleh kaki-kaki kecil yang seputih teratai. Dia mulai merasa sedih, dan kemudian dia mulai merasa marah.

“Aku tidak peduli berapa banyak alasan kamu harus membunuhku. Tetapi karena Anda tahu bahwa saya telah bergabung dengan Iblis, dan telah membuat begitu banyak pasang kaki Sangsang untuk menendang saya, saya pasti akan membunuh Anda. ”

Dia mengambil payung hitam besar dari punggungnya dan membukanya.

Payung itu seperti bunga teratai hitam dan sangat menarik di tengah hujan bunga teratai putih.

Dia memegang payung dan berdiri di bawah hujan teratai, memandangi batu Buddha di kejauhan, yang wajahnya berlumuran darah.

Dia tampak seperti turis yang memegang payung kertas di gerimis, mengagumi pohon willow di seberang sungai.

Kemudian, dia berkata, “Buddha, aku datang untuk membunuhmu.”

…

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–