Nightfall Chapter 612

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 612: Tidak Ada Yang Bisa Menghentikan Kita, Bahkan Buddha

Penerjemah: Transn Editor: Transn

Pada hari-hari berikutnya, kereta kuda hitam terus bertemu kelompok kavaleri padang rumput beberapa kali lagi saat melakukan perjalanan melintasi belantara. Ning Que membunuh dua kelompok yang memiliki lebih sedikit orang dengan darah dingin. Saat menggunakan teropongnya, jika dia menemukan bahwa musuh memiliki lebih dari 300 kavaleri, dia tidak akan ragu untuk menyelinap diam-diam, mengambil jalan memutar di sekitar mereka.

Di Wilderness, satu-satunya penjelasan yang mungkin untuk kelompok terorganisir lebih dari 300 kavaleri adalah bahwa mereka adalah pasukan kavaleri dari istana, atau bahwa mereka adalah kekuatan kavaleri utama dari suku besar.

Bahkan jika Ning Que yakin dengan kemampuannya, dia lebih suka tidak bertemu dengan musuh secara langsung. Salah satu alasannya adalah bahwa Kuda Hitam Besarnya tidak lapis baja. Alasan yang lebih besar adalah bahwa bahkan jika dia menjadi sangat kuat setelah memasuki Knowing Destiny State, bahkan jika tubuhnya sangat tangguh, bahkan jika dia memegang Psyche Power-nya dengan mahir, dia tahu bahwa dia tidak bisa menahan gelombang musuh yang tak berujung yang akan menabrak musuh di.

Akhirnya, Psyche Power-nya akan habis dan dia menjadi lelah. Jika dipaksa ke dalam kondisi fisik setelah bentrokan menguras banyak dengan musuh, tidak ada yang bisa dilakukan Ning Que setelah titik itu kecuali mati.

Ribuan tahun yang lalu, Desolate kalah perang melawan Tangs. Oleh karena itu, sesuai dengan kesepakatan yang mereka miliki, menyerah Wilderness dan bermigrasi ke Far North di mana Daerah Dingin dan Lautan Panas ditemukan. Sementara orang-orang dari Dataran Tengah tidak dapat beradaptasi dengan kehidupan di Hutan Belantara sehingga tidak ada migrasi secara massal ke Hutan Belantara yang ditinggalkan oleh para Desolate, orang-orang barbar dari barat datang dan mengisi kekosongan itu. Seiring waktu, mereka menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Barbarans of the Grassland.

Seperti bintang-bintang di langit, suku-suku padang rumput menghiasi daratan luas di utara daratan. Karena Gunung Min serta perbedaan geografis alami, mereka dibagi menjadi tiga faksi utama istana. Di antara ketiganya, Istana Emas adalah yang terkuat sementara Istana Raja Kanan adalah yang terlemah karena memiliki populasi kecil dan fakta bahwa para penggembalanya adalah penganut Sekte Buddhisme.

Kavaleri yang ditemui oleh Ning Que di dataran Wilderness entah dari Istana Raja Kanan atau dari suku-suku di bawah kendali istana. Dia sudah menduga bahwa agama Buddha yang menghormati kaum barbar ini menerima perintah dari Kuil Xuankong.

Kavaleri dari Istana Raja Kanan tidak menimbulkan ancaman nyata bagi kereta kuda, namun, ketika mereka menyusul, beberapa ribu kavaleri yang mencari mereka dengan gelisah di padang gurun akhirnya akan memperlambat laju kereta.

Suatu hari, ketika kereta kuda hitam melewati batu besar dan tandus yang berwarna merah pekat yang keluar dari tanah, Wilderness yang biasanya dingin tiba-tiba turun. Serpihan salju melayang seperti kapas sobek. Ketika mereka perlahan-lahan melayang turun dengan lembut, karena suhu permukaan yang rendah, batu merah itu dengan cepat dicat putih.

Entah dari mana, Sangsang mengeluarkan kain putih besar dan menutupi bagian luar kereta kuda itu. Kain putih yang tersisa dipotong menjadi bentuk Kuda Hitam Besar dan kuda itu juga berpakaian putih.

Melihat kereta dan kuda yang terbungkus putih, menatap matanya yang mengintip dari celah di kain, Ning Que merasakan momen kegelisahan. Adegan di hadapannya yang secara alami tampak jahat entah bagaimana terasa akrab baginya, seolah-olah dia pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya, tetapi dia tidak bisa mengingatnya saat ini.

Saat salju dan angin berangsur-angsur berkurang jarak pandangnya, perjalanan di Wilderness menjadi lebih sulit. Ning Que mengarahkan kereta kuda di sekitar batu besar ke suatu tempat yang sedikit lebih tinggi tetapi masih sangat tersembunyi bagi mereka untuk beristirahat. Dia mengambil teropongnya dan menatap ke hutan belantara.

Hutan belantara menjadi dunia monoton hitam dan putih. Saat kepingan salju dengan malas melayang ke tanah, semua diam. Tidak ada suara yang bisa didengar dan tidak ada sosok yang terlihat.

Ning Que memegang bagian luar dingin es teropong saat ia diam-diam menatap ke padang gurun. Bahkan setelah waspada untuk jangka waktu yang lama, dia tidak kehilangan kesabarannya pada tanah tandus dan sunyi di padang gurun. Meskipun pada akhirnya, dia melihat apa yang dia inginkan, atau lebih tepatnya, tidak ingin melihat.

Sepuluh biksu muncul dalam bidang pandangan teropongnya.

Para bhikkhu mengenakan jubah biksu tebal yang berwarna putih salju dan sepatu yang ditenun oleh rumput kering. Di bawah kaki mereka ada langit yang terbuat dari papan kayu panjang tipis yang sedikit melengkung ke atas di ujungnya. Di tangan mereka memegang dua staf logam yang tipis tapi kuat. Mereka meluncur di salju secepat kuda berlari.

Ning Que mengira bahwa para biarawan ini berasal dari Kuil Xuankong dan tidak bisa membantu tetapi cemberut sedikit. Kuil Xuankong terletak jauh dari peradaban di mana kondisi cuaca buruk seperti salju dan hujan lebat keduanya biasa terjadi. Para bhikkhu yang tinggal di dalam kuil tampaknya telah beradaptasi dengan lingkungan sumur Wilderness. Fakta bahwa salju tebal tidak memperlambat laju mereka terbukti menyusahkan.

Yang mengejutkannya adalah para bhikkhu itu tidak mengenakan topi wol atau sepatu bot. Pilek yang dingin sepertinya telah kehilangan kekuatannya terhadap mereka. Dalam hal berkultivasi dan berlatih, para bhikkhu itu telah mencapai Alam Seethrough.

Meskipun berhati-hati dan gelisah tentang hal itu, dia tidak segera pergi. Sebagai gantinya, dia terus duduk di jendela kereta dan memantau biksu Kuil Xuankong yang lewat. Dia memperkirakan area hutan belantara di sekitarnya dan menghitung kecepatan para bhikkhu tersebut serta efisiensi pencarian mereka. Setelah itu, dia diam-diam memberi tahu Sangsang.

Sangsang menuliskan angka-angka itu di selembar kertas. Setelah berpikir sejenak untuk dirinya sendiri, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Dibutuhkan setidaknya 200 orang untuk pencarian mereka di bagian Wilderness ini menjadi bermakna.”

Secara alami, para murid Buddha tidak akan mengambil bagian dalam usaha sia-sia. Komentarnya mengungkapkan satu fakta; di bagian hutan belantara di mana kereta kuda itu berada, ada setidaknya 200 atau lebih biksu dari Kuil Xuankong.

200 orang yang mencapai Realm Seethrough. Konsep macam apa ini?

Bahkan untuk Kekaisaran Tang, sulit untuk mengumpulkan 200 pembudidaya Realm Seethrough. Ning Que diam. Dia awalnya berpikir bahwa satu-satunya tempat di dunia ini yang bisa mengirim begitu banyak master dengan mudah adalah Istana Ilahi West-Hill. Namun, tampaknya Kuil Xuankong mampu melakukannya juga.

Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengklaim kemenangan atas 200 biksu Kuil Xuankong, atau bahkan gagasan tentang bagaimana cara melawan mereka. Diberi cukup waktu baginya untuk berkeliaran dan membunuh di waktu luangnya, dalam dua atau tiga tahun dia mungkin bisa membunuh semua Biksu Pertapa ini. Sayangnya, baik Haotian dan Buddha tidak akan memberi Sangsang dan dia cukup waktu untuk melakukannya.

Dia bingung. Dalam beberapa hari terakhir, bagaimana kavaleri padang rumput dan biksu Kuil Xuankong selalu berhasil melacak kereta kuda hitam di Wilderness yang tampaknya tak terbatas?

Pertanyaan dan kewaspadaan Ning Que diuji sekali lagi di saat-saat yang akan datang.

Kamuflase kereta kuda itu dilakukan dengan benar. Lintasan di salju tersapu sementara angin dan salju mengurangi jarak pandang. Namun, dua kelompok Biksu Pertapa yang bertemu di Wilderness tampaknya telah mendeteksi sesuatu. Staf mereka terjun ke salju, mereka langsung menuju batu tanpa ragu-ragu.

Ning Que tahu bahwa bersembunyi bukan lagi pilihan dan jadi dia menabrak dinding kereta dengan pukulan berat.

Mendengar ketukan keras dan dalam dari belakang, nafas Kuda Hitam Besar bertambah cepat. Kelembapan yang keluar dari hidung dan mulutnya melewati kain putih, berubah menjadi awan kabut putih di salju yang sangat dingin. Melalui lubang mata ada mata yang menunjukkan kegembiraan dan agitasi. Dengan tendangan dahsyat dari kaki belakangnya, kereta meluncur keluar dari balik batu.

20 Biksu Pertapa Kuil Xuankong melihat siluet putih di dalam salju dan segera tegang. Staf logam mereka bergerak sangat cepat sehingga aksi itu berubah menjadi kabur. Papan kayu di bawah kaki mereka melaju melintasi salju yang lembut dan mengejar bayangan putih itu, berusaha mencegatnya.

Ning Que tidak duduk di dalam gerbong, melainkan, ia berdiri tepat di belakang Kuda Hitam Besar dan melihat pada para Biksu Pertapa yang melaju di sepanjang salju. Angin dan salju dengan bebas menyerang wajahnya, tetapi dia tetap menunggu dengan sabar.

Di quiver di sebelahnya diletakkan 50 panah dan dua busur kayu, dengan busur kayu digantung di punggungnya juga. Jika para bhikkhu dari Kuil Xuankong cukup dekat, tali busur akan terdengar dengan cepat.

Adapun para Biksu Pertapa melaju melintasi salju, ekspresi mereka tetap tegas dan ditentukan, dengan beberapa teriakan kasar keluar dari mulut mereka. Di mata mereka, badai salju mendadak yang terjadi adalah karena frustrasi Buddha terhadap Putri Yama. Dalam lingkungan bersalju ini, tidak peduli seberapa cepat kereta kuda melaju, itu tidak akan sebanding dengan kecepatan mereka.

Namun, apa yang tidak diketahui oleh para biarawan adalah bahwa kereta kuda Ning Que bukanlah kereta kuda biasa. Kontak antara roda kereta dan tanah sangat ringan dan lembut sehingga tidak peduli seberapa lembut tanah yang tertutup salju itu, itu tidak akan mempengaruhi kereta sama sekali.

Kuda Hitam Besar meringkik dengan kegembiraan. Kuku secepat kilat menyemprotkan serpihan salju yang tak terhitung jumlahnya dan badai salju mengepul melewati kain putih yang menutupi kuda saat menyeret kereta yang tampak berat di sepanjang salju dengan kecepatan tinggi.

Setelah selusin napas, kereta kuda itu secara bertahap meninggalkan para biksu ski jauh di belakang mereka, roda kereta hanya menyisakan goresan samar di salju.

Meskipun menyingkirkan para Biksu Pertapa itu tampaknya memberikan keamanan sementara, kebenarannya masih jauh dari itu. Sejak pertemuan itu di salju, dalam jangka waktu yang sangat singkat, kereta kuda hitam menghadapi serangkaian Biksu Pertapa dari Kuil Xuankong di hutan belantara. Meskipun mereka berhasil melarikan diri dengan sukses setiap kali, arah yang mereka tuju harus disesuaikan.

Pertemuan yang tak terhitung jumlahnya dengan musuh meningkatkan kecepatan pelarian dan ini menyebabkan ketegangan meningkat dalam batas-batas gerbong. Untuk pertama kalinya, mata Kuda Hitam Besar menunjukkan lebih banyak kegelisahan daripada kegembiraan, bahkan mungkin kegelisahan.

Ning Que tahu bahwa kavaleri padang rumput yang mereka temui sebelumnya hanyalah makanan pembuka. Hidangan utama baru dimulai ketika para biksu Kuil Xuankong bergabung dalam pengejaran di Hutan Belantara. Baru saat itulah pelarian yang sebenarnya dimulai.

Pada saat itu, dia sekali lagi bertanya-tanya tentang pertanyaan yang membingungkan sekaligus mengganggunya. Keberadaan Sangsang dan dirinya sendiri telah terungkap, Kakak Sulung, yang telah naik ke Negara Tanpa Batas belum muncul. Jika Kakak Sulung tidak tahu di mana dia berada, bagaimana mungkin para biarawan dari Kuil Xuankong dapat secara akurat menunjukkan lokasinya setiap saat?

Tatapannya mendarat di papan catur di sudut kereta.

Setelah berpikir sejenak, dia meletakkan papan catur di atas lututnya dan mengeluarkan Payung Hitam Besar. Dia kemudian merobek sepotong kain dari tepi payung yang rusak dan membungkusnya di atas papan catur.

Selama istirahat dalam pelarian mereka, kereta kuda hitam berhenti oleh pohon mati yang berkilauan seperti batu giok dari es yang melapisi itu.

Ning Que meraih papan catur yang dibungkus oleh kain payung hitam. Dia melompat dari kereta, mengeluarkan podao-nya dan menggali lubang yang dalam di samping pohon. Dia melemparkan papan catur ke dalam lubang tanpa ragu-ragu dan mengisi lubang itu.

Kereta kuda hitam bergerak sekali lagi.

Angin menderu dan salju bertiup. Hanya dalam hitungan detik, tanah di bawah pohon beku itu dilapisi lapisan es dan salju yang tebal. Bahkan jika seseorang berdiri tepat di depan pohon, dia tidak akan bisa mengatakan bahwa seseorang menggali di lokasi itu sebelumnya.

Sangsang berkata, “Kasihan sekali.”

Ning Que menjawab, “Jika kita melelang papan catur Buddha di kota Chang’an, kita pasti akan menghasilkan satu sen yang cukup. Atau mungkin mendaratkan serangan ganas ke Kerajaan Yuelun. Rasanya sangat disayangkan untuk membuangnya seperti ini. ”

Sangsang berbisik, “Aku tidak bermaksud begitu.”

Ning Que berkata, “Oh saya ingat, Anda suka bermain catur. Aku akan membuat set yang bagus untukmu lain kali, bagaimana kalau yang terbuat dari batu giok putih? ”

Sangsang menjawab, “Maksud saya, sangat disayangkan sepotong payung hitam besar robek untuk ini.”

Ning Que tertegun sejenak, tapi kemudian dia tertawa.

Setengah hari kemudian, beberapa lusinan Biksu Pertapa Xuankong meluncur ke lembah es yang pernah diangkut kereta kuda hitam sebelumnya. Jubah mereka menari di salju yang melolong.

Kepala biksu Qi Mei dari Aula Penghormatan Kuil Xuankong melangkah maju dengan khidmat. Dia menatap kompas yang terlihat seperti relik Buddha di tangannya dengan Fuo Zhi Sheli-nya yang duduk di atas dan sedikit mengernyit.

Tulang jari Buddha, Sheli, bisa menuntun orang-orang percaya ke relik yang tertinggal, dan inilah tepatnya alasan mengapa kereta kuda hitam tidak bisa lepas dari kejaran mereka. Akan tetapi, pada saat ini, Sheli biasanya tenang dan tidak ada gerakan yang terlihat darinya. Seolah-olah itu tidak dapat mendeteksi papan catur.

Qi Mei bingung, karena dia tahu bahwa Sekte Buddhisme baru saja kehilangan kesempatan terbaik untuk membunuh Putri Yama. Dia dengan tenang melantunkan nama Buddha, diam-diam berdoa agar ini bukan kesempatan terakhir yang akan mereka miliki.

Beberapa mil jauhnya, sebatang pohon mati beku yang terlihat seperti patung batu giok bergoyang lembut tertiup angin, seolah-olah itu mengangguk.

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–