Nightfall Chapter 940

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 940: Satu Pir Hijau sampai Lima Ratus Tahun

Penerjemah: Larbre Studio Editor: Larbre Studio

Setelah mengatakan itu, aliran Sangsang miliknya tiba-tiba berubah. Dia kemudian berbagi payung yang sama dengan Ning Que, dan berdiri di sana di bawah pohon pir di dataran tinggi tebing. Namun di mata Ning Que, dia langsung terlihat berkali-kali lebih tinggi dibandingkan satu menit yang lalu, seolah-olah dia akan menyentuh cakrawala pada posisi memerintah di atas Menara Putih di udara.

Menghadapi cara Buddha yang sangat kuat, ia berkorespondensi dengan tanpa batas dalam perspektif Buddha. Ning Que menyaksikan apa yang disebut ketakberbatasan orang lain, Dekan Biara Zhishou dan flagon. Hanya ketidakterbatasannya yang benar-benar tak terukur.

Begitu mereka menemukannya berubah, para biarawan dari Kuil Xuankong tidak menghentikan nada bel dan nyanyian sutra. Sebaliknya, mereka semakin bergema, mengikuti perubahan aliran Qi-nya.

Setiap karakter tulisan suci, yang dinyanyikan oleh para bhikkhu di kuil-kuil, seberat sebuah kuil. Keluar dari paksaan, batu-batu lepas perlahan-lahan terbang dari dua gunung di barat dan timur. Puluhan ribu biksu terguncang dengan tidak stabil. Mereka terus melantunkan mantra, bahkan dengan darah segar keluar dari mulut mereka.

Ning Que cukup khawatir setelah ia menemukan sedikit pucat naik di pipi Sangsang. Dia tahu apa yang dipikirkannya dan berkata dengan damai, “Ini duniaku. Tidak ada yang bisa menjebak saya. ”

Namun demikian, ini adalah tanah Buddha, dunia yang luar biasa.

Saat bel berbunyi di Kuil Xuankong, bel juga berbunyi di tujuh puluh dua kuil di Kota Chaoyang di musim gugur: bel berbunyi di Kuil Lanke di Gunung Wa berbunyi di pantai yang sangat terpencil, bel berbunyi di Chang’an , di Kuil Myriad Goose di mana tidak ada bunyi klakson terdengar, di Kuil Teratai Merah, yang dibakar dan dihancurkan sejak lama. Hanya bel yang terdistorsi terdengar dan merintih seperti hantu yang terisak ketika angin musim gugur bertiup.

Biara Budha yang sangat kumuh terletak di luar ibu kota Kerajaan Yan, yang telah hancur selama bertahun-tahun. Sejak tahun lalu, puluhan janda yang tidak mampu melahirkan anak diusir dari pertanian dan rumah. Para janda berkumpul di biara yang sudah usang itu, dan mencukur rambutnya yang hitam. Mereka siap untuk menghabiskan sisa hidup panjang mereka dalam keputus-asaan dengan Buddha yang hancur dalam cahaya yang berkelap-kelip, atau kesempatan bertemu kematian yang tiba-tiba dan tragis setelah jatuh ke tangan perampok di malam hari.

Mereka mendengar nada bel tiba-tiba dari jauh.

Tersiksa oleh kehidupan mereka yang dingin dan gelisah, para janda sudah merasa putus asa. Namun, nada bel tampaknya telah menyuntikkan semacam kekuatan ke tubuh mereka. Mereka berdiri, berlari menuju bel yang hancur di bagian belakang biara, dan mengepalkan tangan mereka untuk terus memukul bel. Tinju mereka berdarah, seolah-olah mereka melepaskan dendam dan keputusasaan mereka yang telah menumpuk selama bertahun-tahun untuk mencari kenyamanan.

Bel berbunyi dengan sangat serak dan tidak nyaman, karena melolong.

Di Kota Chaoyang, biksu yang tak terhitung jumlahnya berlutut di depan patung Buddha, dan meneriakkan sutra. Banyak orang percaya juga berlutut dan berdoa kepada Buddha, sama seperti waktu di Menara Putih sebelum menghilang.

Di Kuil Myriad Goose of Chang’an, para biksu dengan menakjubkan mendengarkan nada lonceng yang berdering di belakang pengadilan, seolah-olah patung-patung batu Yang Mulia hendak dibangkitkan. Di Kuil Lanke di Gunung Wa, Biarawan Biarawan Biksu Guan Hai berlutut diam-diam oleh patung batu Buddha di puncaknya, sambil mengenakan penampilan khidmat.

Baik di kota maupun di desa, semua orang yang pernah dibantu oleh sadhus, dengan rajin berlutut dan berdoa di bawah lonceng di mana-mana ke arah Buddha yang tidak ada yang tahu di mana menemukannya.

Nada bel, nyanyian sutra dan doa berdering di setiap sudut di dunia manusia, menjadikannya tanah Buddha. Selama berbagi kepercayaan tentang agama Buddha, orang akan masuk ke dalam makrokosmos yang dia tinggalkan – Surga Barat.

Sangsang terlihat semakin pucat karena dia meremehkan paksaan dan kekuatan Buddha. Tapi dia tidak bingung. Sebuah petunjuk yang jelas menyadarkannya bahwa Buddha benar-benar hidup, selama dia telah mengatur semua ini.

Maksudnya kuncinya adalah menemukan Buddha dan membunuhnya untuk selamanya, sehingga firdaus yang telah ia dirikan di dunia manusia akan dihancurkan, dan semua ini akan menjadi gelembung bursted.

Dia sudah mendeteksi keberadaan Buddha.

Ning Que sangat khawatir ketika dia melihat ekspresinya.

Sangsang berbalik untuk menatapnya tiba-tiba dan berkata, “Makan pir hijau yang ada di lengan baju Anda.”

Ning Que bingung. Dia memang memiliki pir hijau di lengan bajunya, yang merupakan buah pertama dari pohon pir di samping tebing sebelumnya. Dia bingung mengapa dia ingin dia memakannya pada saat ini.

Dia segera memecahkan misteri itu karena dia ingat bahwa dia pernah makan pir hijau yang memungkinkan mereka untuk memasuki papan catur Buddha. Itu adalah tahun ketika mereka berada di bawah patung Buddha di Gunung Wa dan di pondok gua Tuan Qishan.

Apakah memasuki papan catur jauh dari Papan Catur Barat?

Ning Que memiliki keyakinan pada Sangsang. Itu bukan karena hubungan mereka, tetapi karena dia adalah Haotian, penguasa yang bisa menghitung dengan tepat segala yang ada di bumi. Tetapi pada saat itu, dia tidak bisa menahan diri dari keraguan karena apa yang terjadi terakhir kali setelah dia memakan buah pir hijau. Saat itu, hanya kesadaran mereka atau yang disebut jiwa memasuki papan catur, sementara tubuh mereka diblokir di luar. Bahkan jika Sangsang mampu menyeret tubuh mereka ke papan catur dengan memanfaatkan kemampuan ilahi yang besar, bahaya apa yang akan mereka hadapi di dalamnya?

Saat melihat papan catur dan garis-garis di atasnya, muncul kecurigaan yang sangat mengerikan: bagaimana jika Buddha benar-benar tersembunyi di dalamnya?

“Jelas, Buddha ada di papan catur.”

Kelopak tulisan suci melayang turun dari udara. Cahaya Buddha, muncul dari dataran tinggi tebing, menutupi Sangsang dan Ning Que. Menara Putih perlahan jatuh. Sambil menonton semua ini, Sangsang meletakkan payung hitam besar itu, dan berkata, “Setelah saya datang ke gunung, baik Kuil Xuankong dan Buddha menjadi sunyi. Saya Haotian, jadi siapa yang berani menyakiti saya? ”

Ning Que tidak mengerti dan bertanya, “Mengapa mereka menyakitimu?”

Sangsang menjawab sambil menatapnya, “Karena buah pir hijau di pohon itu matang dan kamu mengambilnya. Sekarang kamu punya satu. ”

Ning Que menyaksikan pir hijau kecil di tangan kanannya dan papan catur di tangan kirinya. Kemudian dia sepertinya punya petunjuk. Tahun itu ketika para tokoh yang kuat berkumpul di Kuil Lanke, Brother Kedua menghancurkan pembuluh-pembuluh dherma dan patung Buddha. Hanya papan catur yang tersisa.

“Karena pir hijau telah matang, kita dapat memasuki papan catur untuk melihat tubuh asli Buddha. Itulah sebabnya para bhikkhu ini mulai takut, demikian pula Buddha. Dan itu sebabnya mereka lebih suka bertarung dengan apa pun yang mereka miliki untuk menghentikan kita. ”

“Tahun itu ketika kita pergi ke papan catur di Kuil Lanke, mengapa kita tidak melihat Buddha?”

“Tahun itu, aku belum bangun, jadi kami tidak bisa melihatnya. Sebaliknya, tidak ada artinya baginya juga untuk melihat saya saat itu. ”

“Apa artinya? Buddha itu juga menunggu untuk melihat Anda sejak Anda menjadi Haotian? ”

“Baik.”

Sambil menatap papan catur di tangannya, Sangsang bertanya-tanya mengapa dia tidak dapat menemukan jejak Buddha di dunia manusia, dan mengapa perhatian Tian Xin selalu kembali ke Ning Que ketika mereka mencarinya di Kuil Xuankong. Bukan karena saya tidak bisa meninggalkan lelaki ini, tetapi karena saya sudah mengetahui bahwa Buddha bersembunyi di papan catur. Itu luar biasa.

Ning Que merasa bahwa papan catur di tangannya jauh lebih berat daripada semenit yang lalu. Siapa pun akan memiliki perasaan yang sama setelah mengetahui bahwa mereka membawa dunia setelah nirwana Buddha, yang juga merupakan peti mati Buddha.

“Mengetahui bahwa Buddha ada di dalamnya, mengapa kita masih berencana untuk masuk?” Dia gelisah.

Sangsang berkata, “Saya datang ke sini untuk membunuh Buddha. Tentu saja saya harus mengikuti jejak. ”

Ning Que hendak mengatakan sesuatu, sebelum sesuatu memasuki mulutnya. Jus pir harum, manis, dan lezat mengalir ke perutnya. Dia memakan pir hijau begitu saja.

Apa yang dilakukan sudah dilakukan. Dia memakan buah pir. Hal-hal yang sudah terjadi tidak dapat diubah. Dia menerima kenyataan kejam dengan sangat cepat, dan kemudian berjalan ke pohon hijau di sisi tebing.

“Kamu lagi apa?” Sangsang bertanya.

Ning Que berusaha meraih buah pir dan berkata, “Kamu belum makan satu.”

Sangsang berkata, “Saya tidak harus. Saya telah memasuki papan catur sekali, jadi ini juga duniaku. ”

Setelah mengatakan itu, sepotong catur tambahan ditemukan di antara jari-jarinya.

Bertahun-tahun yang lalu, dia dan Master Qi Shan memainkan putaran terakhir dari tiga pertandingan Wa Mountain di Lanke Mountain. Tuan memintanya untuk memilih sisi, dan dia memilih yang hitam tanpa ragu, yang membuat sang Guru menghela nafas.

Dua tahun lalu, bidak catur di tangannya menjadi putih di Wilderness. Kepala Akademi di gerbong mengamati itu, dan alam semesta berubah warna kemudian. Kepala Sekolah tahu semua sebab dan akibat. Kemudian dia mengajaknya dan Ning Que untuk memulai perjalanan panjang di dunia manusia, untuk mengatur sebelum kedatangan Haotian ke dunia manusia.

Bidak catur itu selalu ada di tangan Sangsang. Pada titik ini, sulit untuk mengatakan warna apa yang seharusnya, karena terus berubah dari hitam menjadi putih dan kemudian putih menjadi hitam. Itu seperti kehendak dewa, mustahil diprediksi.

Ning Que menatap bidak catur di tangannya dan mengingat banyak kenangan. Dia memegang papan catur dalam diam.

Dia menaruh bidak catur di papan catur.

Tidak ada suara atau angin.

Ning Que dan Sangsang telah menghilang dari dataran tinggi tebing.

Papan catur itu tetap di udara untuk sementara waktu, dan kemudian jatuh di dataran tinggi tebing. Tetesan hujan memercik.

Curah hujan mengalir keluar dari sisi tebing membentuk beberapa air terjun raksasa, berguling-guling dengan derasnya gemuruh.

Bebas dari penyumbatan kecakapan tuan, Menara Putih jauh dari Kota Chaoyang memecahkan langit dan jatuh, dan kemudian menghantam papan catur. Dengan bunyi nyaring lagi, benda itu mundur ke arah kuil tua di belakang tebing.

Kuil tua itu hancur berantakan. Jalan menuju gua di tebing terhalang oleh Menara Putih.

Papan catur muncul beberapa kali di dataran tinggi tebing, dan kemudian menjadi statis, menggerakkan angin yang sangat lembut.

Angin sepoi-sepoi bertiup dan pohon hijau di sisi tebing bergetar sejenak. Banyak pir hijau jatuh.

Sebelum Menara Putih keluar dari awan, sejumlah besar air datang dari Kota Chaoyang, seolah-olah hujan badai telah mengguyur dataran tinggi tebing. Namun demikian, pir hijau tidak bisa dihilangkan saat itu. Sekarang, buah pir hijau jatuh seperti hujan di tengah angin yang menyegarkan.

Ketuk, ketuk, ketuk, ketuk. Ditemani oleh suara seperti hujan, pir hijau jatuh ke dataran tinggi tebing, dimaserasi oleh air hujan. Dalam sekejap mata, semuanya bergetar menjadi jus, hanya dengan ratusan core pir yang tersisa.

Inti pir ini diaduk oleh angin, dan jatuh di samping air terjun besar ke jurang di bawah gunung, tanpa jejak sama sekali.

Pohon pir ditanam oleh Buddha bertahun-tahun yang lalu. Itu berkembang setiap lima ratus tahun, dan matang lima hari kemudian. Begitu mereka menyentuh tanah, mereka menjadi oakum dan menghilang tanpa jejak.

Selama bertahun-tahun yang tak terhitung jumlahnya, hanya tiga pir hijau yang tersisa di Kuil Xuankong.

Ketika dia meninggalkan Kuil Xuankong, Master Qi Shan membawa ketiga pir bersamanya ke dunia manusia. Itu karena dia adalah bajingan dari Kepala Biksu Kitab Suci generasi pertama sehingga tidak ada hukuman yang diterapkan.

Pir hijau pertama digunakan oleh Master Qi Shan untuk merawat puluhan ribu korban epidemi setelah bencana alam. Karena hal ini, pikiran meditatifnya dikompromikan dari yang benar-benar kosong menjadi cacat.

Pir hijau kedua digunakan oleh Master Qi Shan untuk mempertobatkan Pangeran Lian Sheng, yang menyadari kebenaran melalui isolasi dan meditasi oleh pohon pir di sisi tebing. Dapat dikatakan bahwa itu adalah takdirnya atau takdir untuk menjadi penganut Buddha.

Pir hijau ketiga dibagikan dan dimakan oleh Sangsang dan Ning Que, yang mengungkapkan identitas asli Sangsang kepada tuannya. Setelah itu, dunia manusia jatuh ke dalam pelarian untuk melarikan diri dari pertumpahan darah bencana.

Lima ratus tahun kemudian, bunga pir di pohon hijau bermekaran dan menghasilkan ratusan buah hijau di Kuil Xuankong. Hanya satu buah yang bertahan dan dimakan oleh Ning Que. Kali ini adalah hal yang relatif sederhana untuk diputuskan.

Pohon pir hijau ini akan menentukan hidup atau mati seseorang – kehidupan dan kematian Haotian dan Buddha.

…

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–