Nightfall Chapter 942

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 942: Lampiran

Penerjemah: Larbre Studio Editor: Larbre Studio

Sebuah bel berbunyi di sebuah kuil tidak jauh dari jalan.

Ning Que sedang melipat payungnya. Bel yang berdering di Kuil Xuankong telah menyiksanya dengan baik. Oleh karena itu, dia diperingatkan oleh suara bel pada saat ini dan secara naluriah meraih tangan Sangsang.

Sangsang menatapnya tanpa emosi. Ning Que kemudian menyadari bahwa mereka tidak lagi berada di Kuil Xuankong. Dia merasa malu dan meletakkan tangannya di belakang, seperti yang selalu dilakukan Sangsang.

Lonceng berbunyi lebih keras di seluruh kuil di Kota Chaoyang. Ning Que mengira bahwa suara paling keras datang dari lonceng kuno di Kuil Menara Putih di utara.

Orang-orang di jalan-jalan dengan senang menikmati agar-agar kacang atau pilaf di atas daun pisang atau menonton pertunjukan monyet. Setelah mendengar bel, mereka menghentikan apa pun yang mereka lakukan dan bergegas menuju kuil terdekat.

Beberapa tidak dapat meninggalkan bisnis mereka. Jadi mereka berlutut di jalan, bersujud dan berdoa terus-menerus. Lelaki pertunjukan monyet itu juga berlutut dengan kagum dan mencoba membuat monyetnya membungkuk juga.

Ning Que dan Sangsang adalah dua yang tersisa berdiri di sana. Meskipun umat Buddha yang saleh tidak memusuhi mereka, mereka menganggap mereka aneh.

Bel telah mengubah pemandangan dengan cara yang lucu. Sepertinya flash mob yang dilihat Ning Que di dunia lain. Monyet kecil itu lucu. Itu terpaksa berlutut oleh tuannya tetapi terus memutar matanya. Namun karena mereka telah menyaksikan dunia yang menyedihkan di bawah Xuankong Temple, Ning Que merasa pemandangan itu menjijikkan sekarang.

Sangsang tentu saja lebih membencinya. Dia menyapu lengan bajunya sedikit.

Setelah mengocok, bunga-bunga mekar di lengan hijau dan angin menderu melalui jalan. Itu meniup kios jeli kacang dan pilaf pada daun pisang, dan bubur jagung masuk ke mata orang. Laki-laki pemandu monyet itu mencoba menggosok matanya dan monyet itu dilepaskan. Itu tidak lari, tetapi hanya mengikuti daun pisang dan menikmati pilaf yang tersebar.

Suara bel terganggu oleh angin dan kehilangan ritme mereka. Namun angin tidak berhenti dan terus bertiup ke arah langit. Itu meniup awan ke dalam kekacauan di atas Kota Chaoyang.

Sangsang merasa puas dan maju dengan tangan di punggung.

Ning Que menatapnya dan tetap diam.

Ketika dia berada di Divine Hall of West-Hill, dia tidak perlu melakukan apa pun atau bahkan memikirkan apa pun. Setiap kali dia merasa terganggu, bintang-bintang muncul dan menghilang dari matanya, banyak awan berkumpul dari sepuluh ribu mil jauhnya dan menciptakan badai dan guntur di atas Peach Mountain. Setelah mereka meninggalkan West-Hill, khususnya sejak mereka mencapai jantung Wilderness, dia mulai mengocok lengan bajunya setiap kali dia merasa marah atau ikut berkelahi …

Meskipun Sangsang masih jauh lebih kuat daripada yang bisa dibayangkan oleh manusia mana pun, dia memang jauh lebih lemah dari sebelumnya. Dia tidak lagi mahakuasa.

Ning Que kesal tapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Alasan kondisinya yang melemah adalah ikatan duniawi yang ditinggalkan Kepala Sekolah di dalam tubuhnya. Itu juga karena perjalanan panjang dan bahagia namun sangat berbahaya yang mereka lalui dua tahun lalu. Itu lebih karena dia telah membawanya untuk berkeliling dunia manusia dan tidak akan membiarkannya pergi.

Jalanan diselimuti debu dan bau rempah-rempah yang tercekat. Tetapi orang-orang tidak batuk. Mungkin mereka sudah terbiasa sejak usia sangat muda.

Mereka berjalan di atas debu dan pada rute yang sama yang biasa mereka lalui.

Ning Que dan Sangsang pernah tinggal di sini untuk waktu yang lama. Dia membawanya di punggungnya selama pengasingan mereka dan berlari melalui banyak jalan di kota ini. Dia membunuh banyak orang di sini. Tapi noda darah sudah hilang dalam tiga tahun.

…

…

Mereka memasuki papan catur di dataran tinggi Kuil Xuankong dan keluar ke Kota Chaoyang. Rasanya sulit dipercaya. Tetapi satu-satunya kemungkinan adalah bahwa Buddha telah menciptakan terowongan ruang angkasa antara Kuil Xuankong dan Kota Chaoyang, sama seperti yang ada di Kuil Lanke. Dan papan catur adalah kunci terowongan itu.

Beberapa tahun yang lalu, Ning Que dan Sangsang meninggalkan Kuil Lanke di tenggara dan berakhir di Kuil Xuankong di jantung Hutan Belantara. Hari ini mereka melakukan perjalanan dari Kuil Xuankong langsung ke Kota Chaoyang.

Keduanya berjalan di sekitar Kota Chaoyang. Tampaknya mereka berusaha menemukan jejak Buddha. Tetapi sebenarnya mereka berdua tahu bahwa Buddha tidak ada di sini.

Tidak ada yang bisa bersembunyi dari Haotian di dunia manusia.

Ning Que tidak menunjukkannya. Sangsang juga tidak. Tampaknya mereka benar-benar mencari Buddha, dan itu adalah tugas yang memakan waktu.

“Kita perlu mencari akomodasi dulu. Maka kita dapat mengambil waktu kita. ” Dia berkata.

Sangsang tidak mengatakan apa-apa. Keheningannya berarti persetujuan. Jika dia tidak setuju, maka dia akan memberitahunya atau memotong-motongnya untuk menyatakan dirinya.

Di daerah yang ramai di utara kota, ada tempat sepi atau bahkan mematikan yang sunyi. Itu adalah halaman rumah tempat mereka dulu tinggal. Sudah beberapa tahun sejak mereka pergi tetapi tempat itu masih kosong.

Ning Que membuka gerbang. Tenang seperti dulu. Kain hitam Ning Que yang digunakan untuk menutupi jendela masih tergantung di sana. Satu-satunya perbedaan adalah seluruh debu dan dempul dikupas dari jendela ruang toko.

Sangsang menatap halaman yang berdebu dan kumuh. Angin sepoi-sepoi bertiup dari belakang halaman dan mengambil semua debu dari rumah. Tempat itu menjadi sangat bersih dalam waktu singkat.

Sangsang membuka pintu ruang toko. Dia berpikir sebentar tetapi tidak melangkah masuk. Sebaliknya dia berjalan ke kamar tidur dan berbaring. Dia bukan lagi Putri Invarian Yama sehingga dia tidak perlu bersembunyi dari siapa pun.

“Masak lebih banyak sayuran untuk makan malam,” katanya.

Ning Que setuju dan datang ke halaman untuk mengumpulkan kayu bakar. Dia memandang satu-satunya pohon di halaman dan merasa enggan menebangnya. Di mana gagak yang dulu hinggap di pohon ini?

Sungai itu masih ada di belakang halaman, dan beberapa pohon juga. Dia memotong beberapa cabang dengan tangannya dan berbalik untuk kembali. Kemudian dia melihat cetakan tangan yang khas di salah satu pohon.

Bertahun-tahun yang lalu ketika mereka melarikan diri dari perburuan Taoisme dan Budha, dia harus merawat Sangsang yang sangat sakit dan sangat cemas dan hampir pingsan. Dia mencoba melepaskan kecemasannya dengan meninju pohon itu. Dia tidak menyadari kekuatan pukulannya dan hampir mematahkan pohon itu.

Setelah melihat tinju itu, Ning Que tertawa. Dia senang pohon itu tidak patah, dan juga cetakan pukulannya masih ada di sana karena itu adalah kenangan yang paling dia hargai.

Mereka dihargai seperti pohon di halaman dan gagak yang biasa bertengger di pohon.

Dia menumpuk kayu bakar di sudut halaman, membuka pintu dan datang ke sisi tempat tidur. Dia memandang Sangsang yang sepertinya tertidur dan bertanya, “Sayuran apa yang kamu inginkan? Saya tidak terbiasa dengan produk di Kerajaan Yuelun. ”

Sangsang membuka matanya. Mereka cerah dan jelas seolah-olah dia tidak pernah tidur atau lelah. Ning Que tidak pernah tahu mengapa dia perlu tidur.

Dia berpikir sejenak dan berkata, “Aku akan ikut denganmu.”

Mereka pergi ke pasar dan membeli berbagai sayuran. Mereka juga berbelanja di toko kelontong untuk membeli beras, minyak goreng, bumbu, panci dan wajan dan kebutuhan lainnya, serta satu pon daging babi yang bergaris-garis. Kemudian mereka pulang dan menikmati makan malam yang lezat.

Untuk membawa barang-barang itu, memasak dan mencuci piring adalah tugas Ning Que. Ketika ia melakukan semua pekerjaan, Sangsang berdiri di sisinya dengan tangan di belakang punggungnya, dan memandangnya atau langit dari waktu ke waktu.

Ning Que berjongkok di samping wastafel dan merasakannya bahkan lebih melelahkan daripada pekerjaannya sebelumnya membunuh para gangster bertahun-tahun yang lalu. Setelah beberapa saat, dia merasakan sakit di punggungnya dan tidak bisa tidak merasa kesal ketika melihat Sangsang berdiri dengan malas di dekat pintu.

“Aku tahu aku tidak cocok denganmu sekarang. Saya akan mengurus semua pekerjaan rumah dan Anda tidak perlu membantu. Anda adalah Haotian, Haotian yang sangat terhormat. Tidak mungkin Anda melakukan hal-hal seperti itu. Saya tidak keberatan dengan Anda berdiri di sana mengawasi saya bekerja. Tetapi bisakah Anda melakukan saya hanya dengan tidak menaruh tangan Anda di belakang Anda? ” Dia terus mengeluh. “Kamu terlihat seperti seorang supervisor. Itu menyakiti perasaan saya. ”

Sangsang tidak menjawab dan berjalan ke kamar. Dengan tangannya masih di punggung, dia memesan, “Saya ingin teh.”

Allah yang Alkitabiah berkata, “Jadilah terang,” dan terang itu ada.

Sangsang adalah dewa dunia ini. Dia ingin teh, jadi harus ada teh. Dia bisa menyulap berbagai teh baik sendiri, tapi dia bersikeras bahwa Ning Que harus pergi membeli teh untuknya.

Ning Que memang kelelahan, tetapi dia merasa senang karena dia tahu bahwa perilaku Sangsang adalah bukti dari ikatan yang mendalam dengan dunia manusia. Dan dia bertindak lebih dan lebih seperti manusia nyata.

Malam itu, ia mengetuk pintu toko teh terbesar di Kota Chaoyang, menghabiskan dua ons perak dan membeli 74 jenis teh paling terkenal yang diproduksi di berbagai kerajaan dan mengemas beberapa set teh mahal.

Setelah tiga hari menikmati teh, Sangsang membuat keputusan lain, “Saya ingin bermain catur.”

Kemudian Ning Que tidak berusaha untuk mencari set catur terbaik di kota. Tapi ada satu masalah yang tidak bisa dia pecahkan – dia membutuhkan lawan.

“Levelmu terlalu rendah,” Sangsang menatap catur putih dan berkata padanya.

Hal yang paling menjengkelkan bagi seorang pria adalah kehilangan wanita saat bermain kartu atau catur. Ning Que sudah gelisah dan tidak bisa membantu menjadi lebih jengkel pada kata-katanya.

“Bagaimana mungkin kita, manusia kasar, menjadi tandingan melawan Haotian yang maha kuasa?”

Itu adalah komentar Sangsang yang paling sering digunakan untuk manusia, tetapi dia mengatakannya dengan kepahitan yang khas.

Sangsang tetap tanpa emosi dan berkata, “Manusia memang kasar. Tetapi beberapa lebih baik dari yang lain. Dalam hal catur, Chen Pipi bermain jauh lebih baik daripada Anda. ”

Itu bahkan lebih membenci seorang pria ketika wanita itu mengatakan dia kurang kompeten daripada pria lain, bahkan jika itu adalah teman terbaiknya melalui tebal dan tipis.

Ning Que marah dan berseru, “Saya tidak bisa membawanya ke sini dari Linkang.”

Sangsang berkata, “Kalau begitu kamu harus memikirkan hal lain.”

Pada hari berikutnya, Ning Que mengantar tiga pemain catur top Kota Chaoyang ke rumah mereka.

Atau lebih tepatnya, dia menculik mereka.

Selain menikmati teh, bermain catur, dan menonton opera, Ning Que dan Sangsang terkadang juga berjalan-jalan di Kota Chaoyang. Mereka berjalan ke Menara Putih dan juga di sekitar danau. Dia masih terbiasa meletakkan tangannya di belakang.

Puluhan hari berlalu dengan tenang.

Mereka tampaknya mencari sesuatu di Kota Chaoyang, tetapi sebenarnya mereka tidak mencari apa-apa. Mereka tidak bertanya di mana, mengapa atau bagaimana tetapi hanya peduli tentang makanan mereka selanjutnya. Mereka bermain sangat diam-diam.

Suatu malam, Ning Que melepaskan manggis dan meletakkan buah putih di sebelah wajah Sangsang dan bertanya, “Tidakkah menurutmu itu kelihatan seperti keledai?”

Sangsang jarang memiliki emosi. Tetapi dia tidak berdamai dengannya.

Tidak terkecuali kali ini.

Sangsang menatapnya dengan tenang untuk beberapa saat kemudian bertanya, “Kami terlalu terikat pada ini. Bukan begitu? ”

Ning Que terdiam untuk sementara waktu. Kemudian dia memberikan manggis kepada Sangsang dan berjalan ke halaman. Dia mempraktikkan keterampilan pedangnya dan mengambil air dari sungai. Setelah mandi dia berkata, “Aku mau tidur.”

Sangsang duduk di samping meja, menatap pohon di luar jendela dan tidak berkata apa-apa.

Dia dulu sangat ingin kembali ke Kerajaan Ilahi Haotian. Itu misinya. Selama dia bisa membunuh Buddha dan Ning Que, dia akan bisa kembali.

Tapi sne dan Ning Que adalah barang natal masing-masing. Jika Ning Que mati, maka dia akan mati juga. Yang kembali ke Kerajaan Ilahi adalah Haotian, bukan Sangsang. Dia tidak akan lagi menjadi dirinya.

Namun dia ingin melanjutkan sebagai dirinya sendiri dan menanggung nama Sangsang. Yang membuatnya lebih jengkel dan cemas adalah dia bahkan ingin tinggal bersamanya dan melanjutkan kehidupan damai mereka di sini di halaman ini.

Bagaimanapun juga, ini bukan kehidupan yang buruk di sini karena mereka menikmati sayuran yang lezat, daging dan nasi yang lezat, minum teh, bermain catur dan memandang langit dengan santai dari waktu ke waktu.

Karena itu dia tidak ingin khawatir tentang Buddha, Akademi, Taoisme, Kerajaan Ilahi atau dunia manusia. Selama mereka bisa melanjutkan hidup mereka di sini, dia akan terus menjadi Sangsang dan dia akan selalu ada untuknya.

Memang, dia sangat terikat dengan ini.

Ning Que pernah mengajukan pertanyaan ini ketika mereka berada di luar Kota Chang’an: Bagaimana saya bisa menemukan cara sempurna di mana saya tidak akan pernah mengecewakan orang-orang di Chang’an atau mengkhianati Anda? Tetapi dia tahu tidak akan pernah ada jalan yang sesempurna ini.

Dia tidak takut mati. Dia bisa mengancam Sangsang dengan bunuh diri dan memaksanya untuk memasuki Chang’an. Maka Akademi akan bisa menguasainya dengan bantuan dari God Stunning Array. Dalam hal ini, baik Buddhisme maupun Taoisme tidak akan pernah bisa mengalahkan mereka.

Namun, dia tidak bisa melakukan itu padanya.

Oleh karena itu ia membawanya ke halaman kecil mereka di Kota Chaoyang dan mencoba menjauh dari dunia manusia. Dia mencoba berjalan menjauh dari Akademi, dari mencari Buddha dan dari yang lainnya.

Memang, dia juga sangat terikat padanya.

…

…

Mereka begitu terikat dengan kebahagiaan sementara, meskipun itu hanya berlangsung selama sehari, atau bahkan satu jam. Ning Que dan Sangsang tidak pernah menyentuh topik itu sejak saat itu.

Mereka melanjutkan dengan kehidupan biasa selama setengah tahun di Kota Chaoyang. Tidak ada yang terjadi di luar yang menarik perhatian mereka.

Ketika musim semi tiba, Kota Chaoyang menjadi sangat ramai. Panggung opera dilakukan di mana-mana. Suatu hari setelah pertunjukan, Ning Que dan Sangsang membeli setengah pon daging kepala babi dalam perjalanan pulang dan membuat makan malam yang sangat sederhana.

Ketika dia akan menghabiskan beberapa potong daging yang tersisa di mangkuk, Sangsang mengeluh, “Piringnya terlalu sederhana hari ini.”

Ning Que bertanya-tanya, Siapa yang akan membuat pesta setiap hari? Dia mencoba menarik perhatiannya dan berkata, “Kami akan membuat sesuatu yang baik besok. Apakah Anda menikmati pertunjukan hari ini? ”

Sangsang tidak menunjukkan emosi. Dia berdiri dan berjalan menuju halaman.

Ning Que tertegun. Kemudian dia meletakkan sumpit dan mangkuk ke dalam baskom, membersihkan tangannya dan bergegas untuk mengikutinya.

Dia berjalan ke hutan dekat sungai, dan menatap langit dalam diam dengan tangan di belakang.

Ning Que melihat cetakan tinju di pohon. Itu baru setengah tahun. Cetakan sudah memudar karena kulit kayu yang baru tumbuh. Begitu juga suasana hatinya. Anda harus pergi setelah semua, bukan?

Sangsang bertanya, “Apakah kita benar-benar bersama hanya karena kita tetap bersama?”

Ning Que tahu apa maksudnya. Dia berkata setelah hening beberapa saat, “Kita bersama karena kita ditakdirkan untuk bersama. Bukan aku yang mencoba membuatmu tetap di dunia manusia. ”

Sangsang terdiam lama.

Ning Que berkata, “Kamu tahu apa yang saya pikirkan.”

Sangsang berkata, “Ya. Saya tahu pikiran Anda. Tapi itu masih keterikatan. ”

Ning Que melihat ke sisinya dan berkata, “Lampiran bukan dosa.”

Sangsang menatap langit dan berkata, “Ini.”

Apa itu keterikatan? Mencintai seseorang adalah kemelekatan.

Mencintai berarti melekat.

Momen romansa di dunia manusia bernilai bertahun-tahun di Kerajaan Ilahi.

Tapi ternyata itu terlalu pendek.

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–