Nightfall Chapter 952

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 952: Bahu Demi Bahu

Penerjemah: Larbre Studio Editor: Larbre Studio

Jaring laba-laba jatuh di kepala biksu tua itu dari atap Menara Putih. Meskipun kepalanya hampir tertutup, bhikkhu tua itu menutup matanya, dan terlihat cukup damai. Alis peraknya sedikit mengambang di angin, dan menyentuh untaian laba-laba di depannya. Sulit membedakan alisnya dari jaring laba-laba tanpa tampang yang bagus.

Biksu tua itu menutup matanya. Dia membuat orang-orang percaya bahwa penglihatannya ada di dalam dunia ini dan sedang melihat papan catur yang tampaknya biasa di depannya.

Biksu tua itu adalah Biksu Kepala Tulisan Suci Kuil Xuankong.

Setelah Ning Que dan Sangsang masuk, dia tidak pernah meninggalkan papan catur. Banyak waktu berlalu. Mulai dari daun musim semi ke bunga musim panas ke buah-buahan musim gugur dan akhirnya ke salju musim dingin. Bel berbunyi di pagi hari dan drum terdengar di malam hari. Melalui banyak hari dan malam, dia masih diam, meskipun angin bertiup dan hujan turun.

Jun Mo datang ke dataran tinggi tebing, dan bertukar pandang dengan Saudara Pertama. Tidak ada waktu untuk mengobrol. Dia juga tidak berbicara dengan biksu tua itu. Sebagai gantinya, dia berjalan langsung ke biarawan tua itu, mengangkat pedang besi dan mulai menyerang.

Pedang besi yang lebar dan lurus menghantam papan catur, dengan ledakan yang memekakkan telinga. Asap dan debu muncul di dataran tinggi tebing. Beberapa saat kemudian setelah asap dan debu turun, papan catur masih tergeletak utuh di depan lutut biksu tua itu.

Tidak ada satu goresan pun.

Dengan kekuatan Jun Mo, luka seperti itu akan menembus gunung batu. Namun, dia tiba-tiba tidak merusaknya sama sekali.

Meskipun papan catur bisa menahan kekuatan pedang besi, dataran tinggi tebing tidak bisa. Beberapa pecahan ditemukan di dataran tinggi tebing. Terlalu gelap untuk mendeteksi kedalaman, yang bisa diperkirakan ribuan meter ke gunung. Pecah ini memanjang di sepanjang sisi tebing. Jurang di bawah pohon pir akhirnya retak.

Setahun yang lalu, air memercikkan papan catur, dan kemudian menjadi beberapa air terjun raksasa. Meskipun tidak memiliki akar atau sumber, air terus mengalir sampai ke tebing. Tidak sampai sekarang mereka terputus oleh pedang Jun Mo.

Satu ayunan bisa memotong air terjun, tetapi bahkan tidak bisa mengocok papan catur.

Jun Mo memandang Kepala Biksu di belakang papan catur, dan kemudian mengangkat pedang besi.

Mata Kepala Biksu masih tertutup, seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan pedang besi itu. Namun, tangannya jatuh di papan catur. Atau apakah itu triknya untuk membuat papan catur seperti besi sebelumnya?

Jun Mo tidak yakin, tapi dia tidak perlu. Kemudian dia mengangkat pedang besi dan memotong ke bawah. Hanya saja kali ini, dia tidak memotong papan catur, tetapi Kepala Biksu.

Angin datang di depan pedang yang memotong. Dengan mudah merobek jaring laba-laba yang tampaknya berantakan, dan jatuh di tengkorak Kepala Biksu di tengah tanda yang ditahbiskan dengan khidmat.

Pedang besi tebal dan berat, sedangkan kepala Biksu Kepala Kitab Suci sangat bulat. Dengan demikian, sepertinya Jun Mo mengetuk Kepala Biksu dengan sebatang tongkat dalam upaya membangunkannya.

Ledakan lain yang sangat keras terdengar. Di dataran tebing, angin dingin bertiup tanpa tujuan, pohon pir melesat dengan gemerisik, dan banyak batu jatuh ke arah pecahan, jauh dari mengisinya.

Kepala Biksu menutup matanya, dan tetap tenang. Hanya alis peraknya yang terlihat agak berantakan. Seolah-olah kasaya tergantung pada garis pengeringan kain di udara terbuka pada titik di mana sulit untuk menebak ke arah mana lengan baju dan keliman bawah akan pergi.

Pedang besi tidak meninggalkan jejak di kepalanya.

Kepala Biksu mencapai Kebuddhaan dengan mengolah tubuhnya, sehingga tubuh dan jiwanya sekuat besi. Baginya, Tigabelas Primordial Arrows Ning Que saat itu selembut sedotan, dan pedang besi Jun Mo lebih seperti tongkat kayu.

Masalahnya adalah dia tiba-tiba memendek.

Itu karena tubuhnya tenggelam ke tanah dataran tinggi tebing. Dia masih duduk berlutut. Hanya beberapa inci tubuhnya tenggelam karena pedang besi.

Jun Mo tidak mengatakan sepatah kata pun, dan hanya mengangkat pedang besi dalam upaya untuk menyerang lagi.

Pada saat yang sama, angin di tebing menjadi sedikit kacau, ketika Saudara Pertama datang bersamanya.

Ini disebut bahu-membahu.

Jun Mo menarik pedang besinya karena Saudara Pertama memegang tongkat kayu di tangannya.

Saudara Pertama memegang tongkat kayu, berjalan menuju Kepala Biksu, dan merobohkannya.

Ketika tongkat kayu menghantam kepala Kepala Biksu, suara yang lebih mengerikan meledak dari tebasan Jun Mo sebelumnya.

Ledakan! Pecah yang tak terhitung jumlahnya retak di Menara Putih di belakang Kepala Biksu, tampak seolah-olah itu adalah jaring laba-laba sebelumnya. Lonceng tembaga, tergantung di bangunan atap, berdering dengan tidak teratur, dan kemudian meledak menjadi abu.

Mata Kepala Biksu tetap tertutup, dengan alis peraknya menjadi semakin berantakan. Dia tampak agak pucat, sementara tubuhnya terjebak untuk seperempat meter lagi.

Meskipun tenggelam, Kepala Biksu itu masih tidak benar-benar terluka. Papan catur di bawah telapak tangannya terbenam lebih dalam ke dataran tinggi tebing, dan menjadi semakin kokoh.

Kakak Pertama menghela nafas. “Masih belum bisa crash.”

Jun Mo mengangkat pedang besinya dan berkata, “Kami akan terus menyerang.”

Pada saat itu, angin sepoi-sepoi menyegarkan muncul dengan sedikit aroma anggur.

Pemabuk itu datang ke ladang dan memandangi Kakak Pertama secara diam-diam.

Jun Mo menatap balik padanya, dan berkata, “Apakah kamu ingin menghalangi kita?”

Pemabuk itu berkata, “Ya, tapi aku tidak mau mengambil risiko dengan nyawaku.”

Tuan Pertama dan Tuan Kedua dari Akademi ada di sana pada saat yang bersamaan. Bahkan dia perlu mempertaruhkan hidupnya.

Saudara Pertama merasa sedikit bingung, dan bertanya, “Apakah kamu tidak khawatir kami akan merebut papan catur?”

Pemabuk itu berkata, “Selama tubuh besi Kepala Biksu tidak tersentuh, bahkan aku, bersama dengan Jagal, tidak akan bisa menembus tubuh besinya. Jadi, kalian juga tidak. Kalau begitu, apa yang harus aku khawatirkan? ”

Jun Mo tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia berbalik, mengangkat pedang besi, dan menabrak kepala Biksu Kepala sekali lagi.

Ledakan! Satu lagi ledakan besar!

Pecahan di Menara Putih lebih dalam, begitu pula di dataran tinggi tebing. Di dinding batu gua tebing, beberapa pecahan retak. Seluruh dunia akan runtuh.

Tetapi Kepala Biksu tetap sama.

“Saudaraku, giliranmu.” Jun Mo mengundurkan diri untuk memberikan posisi itu kepada Kakak Pertama.

Sambil melihat papan catur yang sudah benar-benar tenggelam ke dataran tebing, Saudara Pertama memikirkannya dan berkata, “Jangan lagi menyerang.”

Pemabuk itu sedikit tersenyum.

Jun Mo sedikit mengernyit.

Kakak Pertama memandangnya dan berkata sambil tersenyum, “Kamu mencoba memanfaatkan.”

Jun Mo tiba-tiba teringat masa lalu di Bukit Kembali Akademi bertahun-tahun yang lalu ketika ia dan saudaranya baru-baru ini diterima dan masih sangat muda. Suatu hari, mereka menerima perintah dari Kepala Sekolah untuk memperbaiki celah gunung di Back Hill. Sebuah batu diturunkan dari tebing dan menghalangi celah.

Jun Mo, di masa kecilnya, lebih bangga, percaya diri dan keras kepala daripada saat ini. Dia membawa kapak pemotongan gunung, dan menabrak batu raksasa selama tiga hari penuh dan nonstop.

Akhirnya, tangannya berdarah dan tubuhnya terlalu lelah untuk membawa kapak. Dia hanya berhasil merusak sebagian kecil dari batu itu.

Ketika dia sedang menyerang, saudaranya tidak melakukan apa-apa selain menonton. Dia tahu saudaranya sedikit lemah, tetapi setidaknya karena ketidakberdayaan, dia memiliki kemarahan.

Bahkan jika dia semakin marah, Jun Mo tidak akan menyalahkan atau menghina Kakaknya. Itulah sebabnya dia merasa sangat dirugikan dan menangis tanpa mengetahui sebabnya.

Saudaranya sedang menatap batu raksasa untuk waktu yang lama. Ketika dia menemukan Jun Mo kecil menangis, dia menatapnya untuk waktu yang lama. Kemudian, dia pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Jun Mo berhenti menangis setelah kakaknya pergi. Di mana audiens? Dia membersihkan wajahnya dengan air dingin. Setelah pulih, ia mengambil kapak sekali lagi, dan siap untuk terus meretas.

Pada saat ini, saudaranya berjalan kembali dengan puluhan bambu moso yang tangguh di tangannya. Dahinya berkeringat, karena cukup sulit baginya untuk menyeret semua bambu ke bawah.

Bruder itu memasukkan bambu moso ke celah di antara batu dan jurang. Setelah perhitungan yang cermat, dia memanggil Jun Mo dan berkata, “Kamu mencoba untuk meningkatkan.”

Jun Mo selalu patuh. Meskipun saat itu dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan saudara lelakinya, atau untuk apa bambu moso itu, dia masih mengikuti jejaknya untuk memanfaatkan bambu moso.

Batu raksasa itu ditabrak oleh kapak yang memotong gunung selama tiga hari dan malam penuh, dengan sedikit tanda-tanda terkoyak. Kemudian ketika dia memanfaatkannya, Jun Mo menemukan bahwa batu itu dengan cepat mengendur. Kemudian, itu bergulir melewati gunung dan menjadi bagian dari pemandangan di gunung di tepi sungai.

…

…

Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun yang lalu tetapi Jun Mo masih taat kepada saudaranya. Saudaranya membiarkannya berpengaruh, dan dia melakukannya. Itulah sebabnya dia berjalan menuju Kepala Biksu dengan pedangnya.

Pedang besi itu tidak berada di antara tubuh Kepala Biksu dan dataran tinggi tebing. Itu ditanam ke pinggiran papan catur.

Pemabuk itu tampak terkejut.

Jun Mo melambaikan pedang besi dan mulai memanfaatkan.

Vitalitas alam dataran tinggi tebing sangat terganggu. Angin menderu, sehingga batu-batu di permukaan Menara Putih jatuh dengan gemerisik, yang terus menerus mengenai kepala Biksu Kepala, dengan asap dan debu yang tak terhitung jumlahnya mengaduk.

Kepala Biksu masih sekencang batu, dan papan caturnya masih di tebing.

Pedang besi itu menahan beban yang tak terbayangkan yang seberat gunung sungguhan.

Jun Mo ingin mengorek gunung ini. Sebuah lolongan yang jelas keluar dari bibirnya yang terkatup dan itu seterang nyanyian burung phoenix dan sekuat daratan.

Guci Drunkard yang ada di pinggangnya sedikit melayang.

The First Brother berdiri di depannya dengan punggung menghadap Jun Mo.

Pedang besi di tangannya sedikit membungkuk lalu diluruskan. Pedangnya selalu lurus. Bahkan gunung tidak bisa menekuknya.

Kekuatan yang tak terbayangkan akan dilepaskan.

Papan catur itu akhirnya dibanggakan, dan naik ke tanah.

Alis perak Kepala Biksu mengambang. Tangannya tiba-tiba berbalik dan menekan papan catur.

Gunung besar sekali lagi jatuh di papan catur.

Jun Mo menghentikan lolongan, dan berteriak seperti halilintar, “Naik!”

Tebing itu runtuh. Pohon hijau itu bergetar, dan dedaunan hijau jatuh seperti tetesan hujan. Papan catur muncul kembali!

Tangan Kepala Biksu ada di papan catur. Dia tetap pada posisi duduk berlutut.

Pedang besi itu lurus dan kuat. Papan catur dan Kepala Biksu bersama-sama beratnya sama dengan gunung besar Prajna. Meskipun papan catur muncul kembali, Jun Mo hanya berhasil mengorek celah yang begitu kecil sehingga bahkan semut terkecil pun tidak akan bisa memanjatnya.

Tapi ini sudah cukup.

Kesenjangan itu berarti papan catur itu terpisah dari gunung. Namun, itu masih tidak terlepas dari tangan Kepala Biksu.

Bergerak maju, itu diteruskan ke First Brother. Tangannya, tidak ada yang tahu kapan, telah jatuh di pundak Kepala Biksu.

Di jurang, turbulensi Qi tersebar. Dengung terdengar, seperti bel terbalik.

Di depan Menara Putih, hanya ada Jun Mo berdiri dan memegang pedangnya. Saudara Pertama, Biksu Kepala, dan papan catur semuanya hilang.

Kemana mereka pergi?

Mereka pergi ke Surga.

Di bagian paling bawah di bumi, puncaknya hanya bagian pendek di atas Wilderness.

Langit jauh lebih tinggi dari puncaknya.

Awan putih melayang dan menghalangi langit biru. Dua sosok keluar dari awan.

Kakak Pertama mengendurkan tangannya.

Kepala Biksu jatuh melalui awan dan menuju tanah.

…

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–