Nightfall Chapter 959

Website sudah kembali normal seperti semula, happy reading 🙂👍

Bab 959: Langit Ingin Memukulmu

Penerjemah: Larbre Studio Editor: Larbre Studio

Jika ada lubang di sudut, Ning Que pasti akan masuk, tidak peduli apakah itu adalah jurang tak berujung atau kesuraman legendaris. Tapi tidak ada lubang. Dia hanya bisa memegang kepalanya dan bergoyang kesakitan dan keringat. Bibirnya tidak berhenti berdarah. Pakaiannya basah karena air matanya.

Dia tidak pernah mengalami rasa sakit yang begitu mengerikan, dan dia bahkan merasa bahwa itu lebih menyakitkan daripada siksaan yang dia derita ketika dia ditangkap oleh gangster yang sudah berkuda di Wilderness. Kapak di kepalanya dan kapak besar yang tak terlihat di langit terus menyerang, seolah-olah mereka tidak akan pernah berhenti.

Kemudian, tubuhnya bahkan mulai berkedut, matanya mulai melayang, dan bahkan bibirnya berubah abu-abu. Dia tidak jauh dari kematian.

Setelah waktu yang lama, kapak besar di langit akhirnya berhenti, tetapi kapak di kepalanya masih mencolok. Merasa sedikit lebih baik, dia berdiri dengan ketekunan yang tak terbayangkan dan kemudian bergegas keluar dari ruang meditasi. Dia bahkan berani untuk tidak berbalik dan melirik bayangan.

Ning Que melarikan diri dari Kuil Menara Putih, dan di bawah tampang heran orang-orang di Kota Chaoyang, dia terus batuk darah dan terhuyung-huyung kembali ke halaman kecil. Setelah melihat Sangsang di bawah pohon, dia akhirnya lega. Kemudian dia tidak bisa lagi menahan kelemahan yang disebabkan oleh rasa sakit yang hebat dan akhirnya pingsan.

Ketika dia bangun, langit cerah di luar, dan Sangsang tertidur di samping tempat tidur. Ada semangkuk bubur ginseng di atas meja, dan bubur itu masih memiliki sentuhan panas. Sepertinya dia telah berulang kali memanaskannya tadi malam.

Mengingat semua malam yang mereka habiskan bersama di Kota Wei dan Chang’an bertahun-tahun yang lalu, Ning Que merasa hangat dan bangkit dan mengangkatnya ke tempat tidur, menyelimutinya di dalam selimut. Kemudian dia mendengar suara dari perutnya dan menyadari dia sangat lapar. Dia mengambil mangkuk dan minum bubur. Setelah membersihkan mulutnya, dia bersiap untuk pergi ke Kuil Menara Putih seperti biasa, tetapi tiba-tiba dia menjadi sangat pucat.

Dia ingat apa yang terjadi di ruang meditasi tadi malam. Lalu dia merasakan sakit yang tajam di kepalanya. Jelas tidak ada yang mencoba melukainya dengan kapak pada saat ini, tetapi ia masih bisa merasakan sakitnya.

Sangsang membuka matanya dan menatapnya dengan tenang untuk waktu yang lama. Tiba-tiba, dia menunjuk kepalanya dan berkata, “Ada seseorang di kepalamu, dan dia ingin keluar.”

Tidak ada yang bisa melewati mata Haotian, tapi dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Ning Que. Mengapa ada seseorang di kepalanya yang memotongnya dengan kapak? Bahkan jika dia bisa menjelaskan masalah ini, bagaimana dia bisa menjelaskan kapak besar yang tak terlihat jatuh dari langit?

Berjalan ke jendela, Ning Que menatap langit kelabu dan bertanya dengan suara bergetar, “Mengapa kamu mencoba untuk menyerangku hari itu?”

Sangsang berpikir sejenak dan berkata, “Mungkin karena kamu jarang menemaniku dan sering lupa memasak untukku akhir-akhir ini, jadi kamu tersambar petir?”

“Tidak ada kilat. Langit terus mencolok, “jawab Ning Que.

Sangsang bertanya, “Apa bedanya?”

Berbalik pucat, Ning Que melihat ke belakang dan berkata kepadanya, “Mengapa langit ingin menyerangku?”

Sangsang menunjuk dirinya sendiri dan berkata, “Aku adalah langit. Mungkin aku yang ingin memukulmu. ”

Ning Que bertanya, “Jadi, itu kamu?”

Melihat langit di luar jendela, Sangsang menjawab, “Mungkin aku yang lain yang tidak tahan dengan caramu memperlakukanku.”

Mengingat rasa sakit yang dideritanya tadi malam, Ning Que berteriak, “Aku menikahimu. Mengapa saudara kembarmu memperlakukanku seperti ini? Apakah ada keadilan? ”

Sangsang menjawab dengan tenang, “Apa yang kita lakukan adalah keadilan.”

Ning Que berpikir bahwa pernyataan itu sangat tidak masuk akal, tetapi dia tidak tahu apakah yang dikatakannya benar atau tidak. Bagaimanapun, dia memutuskan untuk tidak pergi ke Kuil Menara Putih hari ini. Meskipun dia ingin mencari tahu apa bayangan di dinding itu dan mengapa kapak di kepalanya dan di langit ingin memotongnya, dia tidak ingin menghidupkan kembali rasa sakit yang dideritanya tadi malam. Rasa ingin tahu manusia memang bisa mengatasi rasa takut akan hal yang tidak diketahui, tetapi itu tidak serta merta mengatasi rasa sakit.

Dia tinggal di halaman kecil dan menemani Sangsang menatap langit. Setiap kali bel datang dari kuil di kejauhan, ia akan pucat karena ia masih takut.

Melihat ekspresinya, Sangsang bingung dan berkata, “Kamu tidak takut sakit di masa lalu.”

Ning Que berkata, “Sebenarnya aku selalu takut pada rasa sakit. Aku hanya berpura-pura tidak karena aku harus menjagamu. ”

Sangsang menjawab, “Kamu masih harus menjagaku sekarang.”

Ning Que berpikir sejenak dan berkata, “Anda benar juga. Saya harus mencari tahu seluruh masalah, jika tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi. Tetapi saya perlu waktu untuk pulih dari ketakutan. ”

Mungkin karena dia meremehkan keingintahuan umat manusia, atau karena dia harus menjaga Sangsang sehingga dia mengalahkan ketakutannya. Dia tidak menunggu lagi dan kembali ke Kuil Menara Putih keesokan harinya.

Biksu Qingban mencoba bergosip dengan dia seperti biasa, tetapi dia tidak berminat, jadi dia langsung pergi ke ruang meditasi. Dinding yang dihancurkannya tadi malam telah diperbaiki.

Menghadap ke dinding, dia terdiam untuk waktu yang lama, dan tidak ada bayangan di dinding.

Dia duduk kembali di meja dan mulai membaca kitab suci Buddha. Ketika senja datang, dia menyalakan lilin di atas meja. Tangannya gemetaran saat dia menyalakan lilin, sehingga nyala api sedikit bergetar.

Bayangan itu muncul kembali di dinding. Pada awalnya, itu pingsan karena nyala api, tetapi hanya butuh waktu singkat untuk bayangan menjadi jelas.

Ning Que berdiri, dan gerakan sederhana ini sepertinya telah menghabiskan semua kekuatannya. Dan dia terhuyung-huyung sambil berjalan ke dinding.

Bayangan itu duduk dengan kaki bersila, seolah sedang membudidayakan Buddha Dharma.

Bernafas dalam beberapa kali, Ning Que menghadap ke dinding dan duduk dengan kaki bersilang.

“Kamu siapa?” dia melihat bayangan itu dan bertanya.

Bayangan itu secara alami tidak menjawabnya dan diam seperti biksu yang sudah mati.

Ning Que menatap bayangan itu, seolah-olah dia sedang mencoba untuk menembusnya.

Bayangan itu tidak memiliki mata, jadi tentu saja itu tidak bisa menatapnya.

Tepat ketika Ning Que berpikir bahwa ia akan menghabiskan malam dengan damai, sebuah lonceng tiba-tiba datang dari Kuil Menara Putih.

Sama seperti malam sebelumnya, kursus malam sudah berakhir, tetapi bel mulai bergema. Dia tidak tahu dari mana asal bel, aula Buddha atau hatinya.

Ning Que tampak gugup, karena dia ingat bahwa sesuatu yang aneh terjadi semalam setelah mendengar bel.

Itu juga benar malam ini. Lonceng itu tampaknya menjadi sinyal awal bencana. Lonceng yang seharusnya membuat orang tenang membuat bayangan di dinding menjadi gila.

Bayangan itu tidak lagi menyilangkan kakinya, tetapi berdiri dan melambaikan tangannya ke langit. Dari gerakannya yang ganas, sepertinya bayang-bayang itu tidak memanggil seseorang, tetapi mengutuk keras ke suatu tempat di langit.

Bayangan itu berubah menjadi api hitam dan terus menari, seolah ingin membakar segalanya. Dan itu juga tampak seperti seorang tahanan yang sedang kesakitan yang membakar pasak. Tubuh itu hangus oleh nyala api, yang sangat menakutkan.

Ning Que merasa sedih dan mulai menangis, karena dia sekali lagi merasakan keengganan, keputusasaan, dan kemarahan bayangan dan merasakan kesedihan dan kesedihan yang tak berujung.

Tampaknya dia melihat seorang bhikkhu tua yang berdiri di depan kuburan, menghadapi hujan lebat yang jatuh di langit malam dan dengan marah mengutuk Taoisme dan Buddhisme, yang ingin menghancurkan dunia.

Ning Que menangis, bukan hanya karena dia merasakan emosi ini, tetapi juga karena dia tahu bahwa dia akan menderita rasa sakit seperti malam sebelumnya.

Suara keras!

Ning Que merasa bahwa seseorang berdiri di Samudra Kesadarannya, memegang kapak tajam dan mengayunkannya ke tengkoraknya. Sepertinya orang itu berusaha mematahkan kepalanya dan melompat keluar.

Rasa sakit yang hebat menyebar dari kepalanya ke anggota tubuhnya, dan dia bahkan merasa kulitnya dicubit oleh banyak jarum. Perasaan itu seperti dikupas dan kemudian ditaburi garam laut!

Ning Que tiba-tiba menjadi pucat, dan tubuhnya terus bergetar, seperti gunung yang bisa runtuh kapan saja. Tapi dia sudah siap untuk malam ini dan memaksakan diri untuk mempertahankan postur kaki yang menyilang.

“Lian Sheng! Apa yang akan kamu lakukan?!” Dia melihat bayangan di dinding dan berteriak dengan marah.

Bayangan di dinding tidak menjawabnya, tetapi terus berjuang mati-matian, berteriak ke langit dan menyerang. Jadi kapak terus memotong kepala Ning Que.

Menahan rasa sakit, Ning Que menggigit bibirnya dan berteriak dengan suara gemetar dan serak, “Kamu berhenti sekarang, atau aku akan membunuhmu!”

Fragmen sadar Lian Sheng telah berbaring diam-diam di kedalaman Samudra Kesadaran selama bertahun-tahun, dan itu hanya akan bersinar dan memberikan beberapa instruksi ketika Ning Que menghadapi bahaya.

Meskipun kesadaran Lian Sheng sangat kuat, setelah semua itu hanya sisa-sisa yang tersisa setelah kematiannya. Ning Que percaya bahwa ia bisa menekannya dengan kekuatan Kekuatan Jiwa-nya.

Bayangan itu masih mengabaikannya dan tampak sangat menghina.

Karena rasa sakit, alis Ning Que terus berdenyut dan pakaiannya basah oleh keringat. Dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi menanggungnya, jadi dia menggunakan Kekuatan Jiwa untuk menyelam ke kedalaman Samudra Kesadarannya.

Meskipun dia merasa kasihan dan tidak mau melakukannya, dia masih harus menghancurkan fragmen kesadaran yang ditinggalkan oleh Lian Sheng, kalau tidak, dia mungkin benar-benar menjadi gila karena rasa sakit seperti ini atau bahkan mati secara langsung.

Tapi dia lupa ada dua kapak.

Saat dia memobilisasi Psyche Power-nya, bel seperti petir datang dari langit di atas Kuil Menara Putih.

Kapak besar yang tak terlihat itu jatuh dari langit yang tinggi dan langsung menimpanya.

Pada saat ini, dia merasa bahwa tubuhnya terbelah menjadi dua dan hatinya juga terbelah menjadi dua.

Meskipun dia menggigit bibirnya, dia tidak bisa menghentikan teriakannya yang menyakitkan.

Dia jatuh ke tanah dan memuntahkan darah dengan menyakitkan, dan tubuhnya terus berputar, seperti loach di panci panas. Segera tanah itu dilumuri darah.

Kapak dari langit terus memotong, dan kapak dari Samudra Kesadarannya terus memotong juga. Dia tidak bisa lagi menahan rasa sakit dan akhirnya pingsan. Tetapi bahkan dalam keadaan koma, tubuhnya masih bergerak-gerak dari waktu ke waktu. Jelas, kedua kapak itu masih memotong tanpa henti.

Setelah sekian lama, ia terbangun di ruang meditasi, dan langit sudah cerah. Dia koma sepanjang malam, tapi untungnya, bel dan kapak berhenti.

Menyeka noda darah di bibirnya, dia berjalan keluar dari ruang meditasi dan pergi ke danau.

Biksu Qingban ada di tepi danau. Melihat wajahnya yang pucat dan darah di tubuhnya, Qingban terkejut dan bertanya, “Kakak lelaki, apakah Anda mengucapkan mantra atau membunuh di ruang meditasi?”

Ning Que menatap langit biru dan bertanya, “Apakah Anda mendengar bel?”

Biksu Qingban tertegun dan berkata, “Lonceng apa?”

Ning Que juga tertegun dan bergumam, “Mengapa saya satu-satunya yang bisa mendengarnya?”

…

…

Jika Anda menemukan kesalahan (tautan rusak, konten non-standar, dll.), Harap beri tahu kami sehingga kami dapat memperbaikinya sesegera mungkin.

–> Baca Novel di Baca Komik Dan Novel Gratis <–